Konsep Permintaan dan Penawaran dalam Perspektif Ekonomi Islam

Pernahkah kamu berpikir "kenapa harga HP flagship bisa tembus puluhan juta, tapi masih banyak yang beli? Atau sebaliknya, kenapa ada barang murah tapi malah nggak laku-laku?"

Dalam ekonomi konvensional, jawabannya sederhana yaitu supply and demand. Harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran di pasar. Kalau banyak yang mau, harga naik. Kalau stok melimpah, harga turun. Sesimpel itu.

Tapi tunggu dulu. Kalau kita bicara ekonomi Islam, ceritanya tidak sesederhana itu. Ada nilai-nilai moral, batasan syariah, dan tujuan yang jauh lebih dalam dari sekadar untung sebanyak-banyaknya.

Nah di artikel ini akan membongkar bagaimana konsep permintaan dan penawaran dalam perspektif Islam berbeda dari yang kamu pelajari di buku ekonomi konvensional.

Kamu juga akan memahami kenapa perdagangan dalam Islam bukan cuma soal jual-beli, tapi juga soal ibadah dan tanggung jawab sosial. Siap? Mari kita mulai dari yang paling dasar.

Permintaan dan Penawaran dalam Ekonomi Islam

Permintaan dalam Ekonomi Islam: Bukan Semua Barang Boleh Diminta

Dalam ekonomi konvensional, permintaan atau demand adalah keinginan konsumen untuk membeli barang atau jasa pada tingkat harga tertentu. Semakin tinggi harga, semakin rendah permintaan itulah hukum dasar ekonomi.

Tapi dalam ekonomi Islam, ada satu filter penting yang harus dipahami yaitu tidak semua barang boleh diminta dan dikonsumsi.

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Maidah: 87-88:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya."

Ayat ini memberikan dua pesan penting yaitu

  1. Jangan mengharamkan yang halal, Artinya kita diperbolehkan menikmati rezeki yang Allah berikan.
  2. Jangan melampaui batas, maksudnya adalah ada batasan dalam berkonsumsi dan jangan berlebihan (israf) serta jangan mengonsumsi yang haram.

Jadi, dalam ekonomi Islam, permintaan itu tidak dianggap bebas. Ada aturan mainnya. Barang dan jasa yang diminta haruslah:

  • Halal artinya hal tersebut bukan barang atau jasa yang diharamkan seperti alkohol, babi, narkoba, atau jasa yang bertentangan dengan syariah.
  • Thoyyib, yang artinya baik dan bermanfaat, bukan sekadar halal tapi juga berkualitas dan tidak merugikan.

Konsep Raghbah: Hasrat yang Terukur

Ibnu Taimiyah, seorang ulama besar, menyebut hasrat terhadap sesuatu dengan istilah raghbah fil al-syai yang artinya adalah jumlah barang yang diminta.

Tapi bedanya dengan ekonomi konvensional, raghbah dalam Islam tidak boleh lepas kendali. Seorang muslim dilarang membelanjakan uangnya sesuka hati tanpa mempertimbangkan kebutuhan, kemaslahatan, dan kewajiban sosial seperti zakat dan sedekah.

Jadi, konsumsi dalam islam tidak hanya dibatasi oleh budget constraint atau anggaran, tapi juga oleh moral constraint yaitu nilai-nilai moral Islam.

Faktor yang Mempengaruhi Permintaan dalam Islam

Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan:

1. Preferensi Masyarakat

Kalau masyarakat suka produk tertentu, permintaan terhadap produk itu akan naik. Tapi dalam Islam, preferensi ini harus sejalan dengan nilai-nilai syariah.

Misalnya, kalau ada tren fashion yang terlalu terbuka atau tidak Islami, seorang muslim seharusnya tidak mengikuti tren tersebut meskipun sedang populer.

2. Jumlah Populasi

Semakin banyak orang yang membutuhkan suatu barang, semakin tinggi permintaannya. Ini sama dengan ekonomi konvensional.

3. Tingkat Pendapatan

Ketika pendapatan meningkat, daya beli masyarakat juga meningkat. Tapi dalam Islam, peningkatan pendapatan seharusnya juga diikuti dengan peningkatan sedekah dan zakat, bukan cuma konsumsi.

4. Tingkat Kebutuhan

Barang yang sangat dibutuhkan atau kebutuhan primer akan memiliki permintaan yang tinggi. Islam mengklasifikasikan kebutuhan menjadi dharuriyat (kebutuhan primer), hajiyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyat (kebutuhan tersier).

5. Metode Pembayaran

Transaksi tunai biasanya membuat permintaan lebih tinggi karena lebih praktis dan tidak ada unsur riba. Sebaliknya, kalau ada cicilan dengan bunga atau riba, Islam melarangnya.

6. Biaya Transaksi

Semakin rendah biaya transaksi, semakin tinggi permintaan. Ini juga berlaku universal.

Perbedaan Mendasar: Permintaan Konvensional vs. Permintaan Islam

Meskipun ada kesamaan dalam definisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan, ada beberapa perbedaan mendasar antara permintaan dalam islam dan konvensional berikut adalah beberapa diantaranya.

1. Sumber Hukum

  • Konvensional ,berdasarkan pengalaman empiris dan akal manusia.
  • Islam, berdasarkan pada Al-Qur'an dan Hadits serta Ijtihad para ulama.

2. Filosofi Dasar

  • Konvensional, fokus pada keuntungan dan materialisme. Manusia dianggap sebagai economic man yang rasional dan selalu ingin memaksimalkan kepuasan.
  • Islam, fokus pada keadilan, kemaslahatan, dan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Manusia dianggap sebagai khalifah Allah yang punya tanggung jawab moral.

3. Batasan Konsumsi

  • Konvensional, semua barang dianggap sama, bisa dikonsumsi selama ada uang.
  • Islam, ada pembedaan antara halal dan haram. Barang haram tidak boleh dikonsumsi meskipun ada uang dan ada permintaan.

4. Motif Permintaan

  • Konvensional, didorong oleh kepuasan dan ego pribadi.
  • Islam, di dorong oleh kebutuhan, keadilan, dan tanggung jawab sosial.

5. Tujuan Akhir

  • Konvensional, memaksimalkan kepuasan duniawi.
  • Islam, mencapai falah atau kesejahteraan dunia dan akhirat.

Penawaran dalam Ekonomi Islam

Penawaran dalam Ekonomi Islam: Produksi dengan Tanggung Jawab

Kalau permintaan adalah sisi konsumen, maka penawaran adalah sisi produsen. Dalam ekonomi konvensional, penawaran adalah jumlah barang atau jasa yang tersedia di pasar pada tingkat harga tertentu.

Tapi dalam ekonomi Islam, penawaran punya dimensi yang lebih luas. Produsen di sini tidak cuma dituntut efisien dan profitable, tapi juga bertanggung jawab secara moral dan sosial.

Dasar Filosofis Penawaran dalam Islam

Allah menciptakan bumi dan segala isinya untuk manusia. Tapi ada satu larangan penting yang harus dipatuhi yaitu "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi."

Larangan ini muncul di banyak tempat dalam Al-Qur'an. Artinya, dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk produksi, manusia harus menjaga keseimbangan dan keberlanjutan. Tidak boleh eksploitatif, merusak lingkungan, atau merugikan generasi mendatang.

Dua Filter Penawaran Islam

Seperti halnya permintaan, penawaran dalam Islam juga punya dua filter utama yaitu

1. Filosofi Hidup Islam

Nilai-nilai yang harus dipegang produsen muslim adalah:

  • Kesederhanaan, tidak berlebihan dalam gaya hidup.
  • Zuhud artinya tidak silau dengan gemerlapnya dunia.
  • Iqtishad, ekonomis dan efisien.

Dengan nilai-nilai ini, produsen tidak akan tergoda untuk memproduksi barang-barang yang mubazir atau tidak bermanfaat hanya demi keuntungan.

2. Norma Halal dan Haram

Produk dan transaksi yang dilakukan harus sesuai dengan norma Islam. Barang haram atau proses produksi yang zalim seperti eksploitasi buruh atau perusakan lingkungan tidak boleh dilakukan.

Dengan dua filter ini, lingkup penawaran dalam ekonomi Islam menjadi lebih sempit dibanding ekonomi konvensional akan tetapi lebih bermakna dan berkah.

Faktor yang Mempengaruhi Penawaran

Ibnu Khaldun, ekonom Muslim terkemuka, menjelaskan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penawaran yaitu :

1. Tingkat Permintaan

Semakin tinggi permintaan, semakin besar insentif produsen untuk menambah produksi.

2. Tingkat Keuntungan (Harga)

Kalau harga naik, produsen cenderung menambah penawaran. Tapi dalam Islam, keuntungan harus wajar dan tidak eksploitatif.

3. Produktivitas dan Teknologi

Semakin canggih teknologi dan semakin terampil tenaga kerja, semakin efisien produksi dan semakin besar penawaran.

4. Keamanan dan Ketenangan

Kondisi politik dan sosial yang stabil mendukung aktivitas produksi.

5. Biaya Produksi

Semakin rendah biaya produksi, semakin besar penawaran.

6. Jumlah Penjual

Semakin banyak penjual, semakin besar penawaran di pasar.

7. Ekspektasi Masa Depan

Kalau produsen menduga harga akan naik di masa depan, mereka mungkin menahan barang untuk dijual nanti dengan harga lebih tinggi. Ini dilarang dalam Islam karena merugikan konsumen dan menciptakan kelangkaan artifisial.

8. Kondisi Alam

Bencana alam seperti banjir atau kekeringan bisa mengurangi penawaran, terutama produk pertanian.

Prinsip Perdagangan dalam Ekonomi Islam

Prinsip Perdagangan dalam Islam: Lebih dari Sekadar Jual-Beli

Setelah memahami permintaan dan penawaran, sekarang kita masuk ke inti dari hal ini yaitu perdagangan (tijarah).

Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa: 29:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu."

Ayat ini memberikan dua prinsip dasar:

  1. Tidak boleh memakan harta orang lain dengan cara batil, seperti penipuan, riba, pencurian, atau korupsi.
  2. Perdagangan harus suka sama suka (saling ridha), tidak boleh ada paksaan, manipulasi, atau ketidakadilan.

Perdagangan dalam Islam bukan hanya aktivitas ekonomi, tapi juga ibadah. Bahkan Allah menyebutkan kata "tijarah" untuk menggambarkan ibadah kepada-Nya:

"Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?" (QS. Ash-Shaf: 10)

Jadi, perdagangan yang baik adalah yang:

  • Menghasilkan keuntungan dunia
  • Mendatangkan pahala akhirat
  • Sesuai dengan syariah Islam

Etika Perdagangan dalam Islam

Nabi Muhammad SAW adalah pedagang yang sukses sebelum menjadi Rasul. Beliau dikenal sebagai Al-Amin yaitu yang terpercaya karena kejujuran dan integritasnya dalam berbisnis.

Berikut adalah etika perdagangan yang diajarkan Islam:

1. Shidiq (Jujur)

Kejujuran adalah keutamaan pertama dalam bisnis. Pedagang tidak boleh berbohong, menipu, atau menyembunyikan cacat barang.

Rasulullah bersabda:

"Pedagang yang jujur dan terpercaya akan bersama para Nabi, orang-orang shiddiq, dan para syuhada." (HR. Tirmidzi)

2. Amanah (Tanggung Jawab)

Amanah artinya menjaga kepercayaan. Pedagang harus bertanggung jawab atas barang yang dijual, janji yang diberikan, dan hak-hak konsumen.

Seorang pedagang yang amanah akan selalu menyadari bahwa Allah melihat setiap tindakannya, sehingga ia tidak akan berbuat curang meskipun tidak ada yang mengawasi.

3. Tidak Menjual Barang Haram

Prinsip ini mutlak. Pedagang Muslim tidak boleh menjual hal-hal seperti alkohol, babi, narkoba, barang curian atau apapun yang diharamkan dalam Islam. Meskipun permintaannya tinggi dan keuntungannya besar, barang haram tetap haram.

4. Tidak Menimbun Barang (Ihtikar)

Menimbun barang ketika masyarakat membutuhkannya dengan tujuan menaikkan harga adalah dosa besar dalam Islam.

Rasulullah bersabda:

"Orang yang menimbun barang adalah pendosa." (HR. Muslim)

Pemerintah bahkan diperbolehkan untuk memaksa pedagang mengeluarkan barang yang ditimbun dan menjualnya dengan harga wajar.

5. Murah Hati

Rasulullah menganjurkan pedagang untuk ramah, suka mengalah, dan memberikan kemudahan kepada pembeli. Misalnya, memberikan bonus, diskon, atau kelonggaran pembayaran bagi yang kesulitan.

6. Tidak Melupakan Akhirat

Pedagang Muslim harus ingat bahwa kehidupan dunia adalah sementara. Perdagangan tidak boleh melalaikan dari kewajiban beribadah, terutama shalat.

Allah berfirman:

"Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah." (QS. An-Nur: 37)

7. Tidak Bersumpah Palsu

Pedagang sering bersumpah untuk meyakinkan pembeli. Tapi dalam Islam, sumpah palsu adalah dosa. Bahkan sumpah yang benar pun sebaiknya dihindari karena bisa mengurangi keberkahan.

Tujuan Perdagangan dalam Islam: Bukan Hanya Profit

Kalau dalam ekonomi konvensional tujuan utama bisnis adalah memaksimalkan profit, maka dalam ekonomi Islam tujuannya jauh lebih luas:

1. Mengharap Ridha Allah SWT

Ini tujuan utama. Setiap aktivitas bisnis harus diniatkan sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Allah berfirman:

"Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya." (QS. Al-Mulk: 15)

Bisnis adalah salah satu cara untuk menjemput rezeki Allah. Dan rezeki yang paling baik adalah yang didapat dengan cara yang halal dan diiringi dengan keikhlasan.

2. Mendapatkan Keuntungan yang Halal

Islam tidak melarang mencari keuntungan. Bahkan, Nabi sendiri adalah pedagang yang sukses. Tapi keuntungan harus didapat dengan cara yang halal dan tidak merugikan orang lain.

Keuntungan dalam Islam mencakup dua dimensi yaitu Keuntungan materi (profit) atau uang yang didapat dari penjualan. Kedua keuntungan nonmateri Seperti kepercayaan konsumen, hubungan baik dengan mitra, dan keberkahan.

3. Pertumbuhan dan Keberlangsungan

Bisnis yang baik adalah bisnis yang terus tumbuh dan memberikan manfaat kepada banyak orang, bukan hanya pemiliknya. Konsep sociopreneur atau pengusaha yang peduli sosial sangat relevan di sini.

Pertumbuhan bisnis dalam Islam diukur dari dua perspektif:

  • Internal yaitu semakin mendekatkan semua pihak yang terlibat kepada Allah, menciptakan ukhuwah Islamiyah, dan lingkungan kerja yang sehat.
  • Eksternal yakni memberikan manfaat kepada masyarakat melalui lapangan kerja, CSR, sedekah, dan kontribusi sosial lainnya.

4. Keberkahan

Ini tujuan yang paling unik dalam bisnis Islam. Keberkahan artinya keuntungan yang terus bertambah, berkembang, dan memberikan manfaat yang berkelanjutan baik di dunia maupun akhirat.

Menurut Imam Nawawi, keberkahan memiliki dua arti:

  1. Tumbuh, berkembang, atau bertambah
  2. Kebaikan yang berkesinambungan

Bisnis yang berkah bukan hanya profitable, tapi juga:

  • Memberikan ketenangan hati
  • Membawa manfaat bagi banyak orang
  • Menjadi ladang pahala di akhirat

Cara mendapatkan keberkahan adalah dengan beriman, beramal sholeh, dan berdagang dengan cara yang halal.

Ekonomi Islam Bukan Sekadar Teori, Tapi Panduan Hidup

Konsep permintaan dan penawaran dalam ekonomi Islam memang punya kesamaan dengan ekonomi konvensional akan tapi ada perbedaan mendasar dalam filosofi, tujuan, dan batasan moralnya.

Permintaan dalam Islam bukan sekadar keinginan konsumen, tapi kebutuhan yang didasarkan pada nilai-nilai syariah. Konsumen Muslim harus bijak memilih barang yang halal, thoyyib, dan bermanfaat bukan sekadar mengikuti hawa nafsu.

Penawaran dalam Islam bukan sekadar produksi barang dan jasa, tapi tanggung jawab moral untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, tidak merusak lingkungan, dan tidak merugikan masyarakat.

Perdagangan dalam Islam bukan sekadar jual-beli, tapi ibadah yang harus dilakukan dengan jujur, amanah, dan bertanggung jawab. Tujuannya bukan hanya profit, tapi juga ridha Allah dan keberkahan.

Semua ini menunjukkan bahwa ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang holistik menyeimbangkan kepentingan individu dan masyarakat, dunia dan akhirat, materi dan spiritual.

Posting Komentar