Pernah ga sih kamu bertanya-tanya, kenapa ada karyawan yang rela bertahan hingga puluhan tahun di satu perusahaan, sementara yang lainnya malah memilih resign setelah hanya beberapa bulan saja?
Atau kenapa ada sebuah tim yang produktivitasnya tinggi
banget, sementara di tempat lain ada sebuah tim yang memiliki sumber daya yang
sama malah ga ke mana-mana dan hanya jalan di tempat?
Rahasianya terletak pada dua hal yaitu komitmen dan kinerja.
Keduanya seperti dua sisi mata uang yang ga bisa dipisahin dalam dunia
organisasi.
Komitmen tanpa kinerja cuma jadi loyalitas kosong, sementara kinerja tanpa komitmen cuma akan bertahan sementara.
Nah, pada artikel ini kita
akan membedah bagaimana sih cara mengelola keduanya agar organisasi bisa
mencapai performa maksimal. Yuk kita bahas.
Memahami Komitmen Organisasi
Komitmen dalam organisasi itu bukan cuma sekadar betah kerja
di suatu tempat. Lebih dari itu, komitmen adalah keterikatan emosional dan
psikologis karyawan pada organisasi tempat mereka bekerja.
Maknanya komitmen dalam organisasi itu tentang seberapa
dalam seseorang merasa "ini adalah tempat saya" dan "saya bagian
dari keluarga besar ini."
Tiga Komponen Komitmen Organisasi
Menurut Meyer dan Allen, komitmen organisasi punya tiga
komponen utama yang membentuk keseluruhan keterikatan karyawan, yaitu :
1. Afektif
Komitmen afektif adalah bentuk keterikatan emosional yang
paling ideal. Karyawan dengan komitmen afektif tinggi itu yang benar-benar
cinta sama pekerjaannya, bangga jadi bagian dari organisasi, dan merasa
nilai-nilai pribadinya beriringan dengan nilai perusahaan.
Dalam dunia nyata alasan mereka bertahan pada pekerjaan mereka
di organisasi itu bukan karena terpaksa atau karena mereka membutuhkan
pekerjaan itu, tapi karena memang mau dan ingin.
2. continuance
Yang kedua komitmen bersinambung atau continuance commitment
lebih pragmatis sifatnya. Di sini karyawan bertahan karena mereka sudah
menginvestasikan banyak hal baik itu waktu, tenaga, maupun skill spesifik dan
mereka merasa akan rugi kalau harus pindah.
Atau alasan lainya mungkin mereka memang membutuhkan
pekerjaan itu dan tidak punya alternatif pekerjaan lain yang lebih baik. Jenis
komitmen ini lebih transaksional dan kurang stabil dibanding komitmen afektif.
3.Normatif
Sebuah komitmen normatif tumbuh dari rasa kewajiban atau
tanggung jawab. Karyawan yang memiliki rasa "hutang budi" terhadap
organisasi bisa karena perusahaan pernah membiayai pendidikan mereka, atau
memberikan kesempatan saat orang lain menolak.
Mereka akan bertahan pada organisasi karena merasa bahwa hal
itu adalah hal yang "benar" untuk dilakukan.
Menariknya, ketiga komponen ini bisa ada secara bersamaan
dalam diri satu karyawan dengan proporsi yang berbeda-beda. Kombinasi ketiganya
yang menentukan seberapa kuat komitmen seseorang pada organisasi.
Ciri-Ciri Komitmen Organisasi yang Kuat
Menurut Mowday dan rekan-rekannya, ada tiga ciri khas yang
menandai komitmen organisasi yang kuat. Pertama, adanya kepercayaan yang kuat
dan penerimaan terhadap tujuan serta nilai organisasi.
Karyawan yang berkomitmen itu bukan cuma hafal visi misi
perusahaan, tapi benar-benar meyakini dan menjadikannya panduan mereka dalam
bekerja.
Kedua, kesiapan untuk bekerja keras. Ini bukan soal lembur
terus-menerus atau workaholic, tapi tentang kemauan memberikan usaha ekstra
saat dibutuhkan. Mereka yang berkomitmen akan berusaha untuk melakukan lebih tanpa
perlu disuruh berkali-kali.
Ketiga, keinginan yang kuat untuk bertahan dalam organisasi.
Karyawan dengan komitmen tinggi itu tidak akan mudah tergoda tawaran dari
kompetitor atau langsung resign begitu ada masalah kecil. Mereka punya
attachment dan investasi emosional pada organisasi.
Apa yang Mempengaruhi Komitmen?
Komitmen organisasi itu ga muncul begitu saja tahu!. Ada
berbagai faktor yang membentuk dan mempengaruhinya. Nah, menurut penelitian
Steers, Meyer, dan Allen, faktor-faktor ini bisa dikelompokkan menjadi empat
kategori besar, yaitu :
1. Karakteristik Personal
Ini meliputi usia, masa kerja, tingkat pendidikan, dan
kepribadian seseorang. Penelitian menunjukkan karyawan yang lebih senior
cenderung punya komitmen jauh lebih tinggi, mereka sudah punya lebih banyak
investasi emosional dan material di organisasi.
Dalam kategori ini kepribadian juga berperan. Orang dengan
locus of control internal atau merasa bisa mengontrol nasibnya sendiri akan cenderung
lebih berkomitmen dibanding yang external dan merasa nasibnya ditentukan faktor
luar.
2. Karakteristik Jabatan atau Pekerjaan
Cakupan pekerjaan, tantangan pekerjaan, dan otonomi yang
diberikan sangat mempengaruhi komitmen. Karyawan yang pekerjaannya monoton dan ga
ada ruang untuk berkembang akan cepat bosan dan kehilangan komitmen.
Sebaliknya, pekerjaan yang memberikan tantangan sesuai
kemampuan, ruang untuk kreativitas, dan jenjang karir yang pasti akan membangun
komitmen yang kuat. Hal ini karena orang butuh merasa bahwa apa yang mereka
kerjakan itu meaningful dan berkontribusi pada gambaran besar.
3. Karakteristik
Struktur Organisasi
Desentralisasi keputusan, kebijakan yang adil, dan budaya
organisasi yang positif menciptakan lingkungan yang kondusif untuk komitmen.
Organisasi yang terlalu birokratis dan kaku akan menghambat tumbuhnya komitmen.
Dalam penerapannya transparansi dan komunikasi juga penting.
Karyawan perlu tahu apa yang terjadi di organisasi, ke mana arahnya, dan
bagaimana kontribusi mereka berperan dalam kesuksesan bersama.
4. Pengalaman Kerja
Pengalaman positif seperti mendapat pengakuan, kesempatan
berkembang, atau dukungan saat kesulitan akan meningkatkan komitmen.
Sebaliknya, pengalaman negatif seperti diperlakukan tidak adil atau janji yang
tidak ditepati akan mengikis komitmen dengan cepat.
Proses sosialisasi saat awal masuk kerja juga krusial. First
impression dalam pekerjaan itu sangat berpengaruh, pengalaman bulan-bulan
pertama akan membentuk persepsi dan komitmen jangka panjang karyawan.
Mengenal Manajemen Kinerja
Kalau komitmen bicara soal keterikatan, maka kinerja bicara
soal hasil nyata. Manajemen kinerja adalah sistem yang dirancang untuk
memastikan setiap individu dan tim dalam organisasi mencapai performa optimal
dan berkontribusi pada tujuan organisasi.
Jadi ini bukan sekadar evaluasi tahunan atau ngasih nilai ke
bawahan. Manajemen kinerja yang efektif adalah proses berkelanjutan yang
melibatkan perencanaan, monitoring, pengembangan, dan evaluasi performa secara
sistematis.
Tujuan Manajemen Kinerja
Manajemen kinerja punya beberapa tujuan strategis yang
saling terkait. Pertama, untuk memastikan karyawan memahami apa yang diharapkan
dari mereka baik itu target apa yang harus dicapai hingga standar apa yang
harus dipenuhi.
Kedua, untuk mengidentifikasi gap antara kinerja aktual
dengan kinerja yang diharapkan, sehingga bisa diambil langkah perbaikan.
Ketiga, untuk memberikan feedback dan pelatihan membantu karyawan berkembang.
Keempat, untuk membuat keputusan terkait promosi,
kompensasi, dan pengembangan karir berbasis data dan fakta, bukan asumsi atau siapa
terfavorit. Terakhir, untuk menyelaraskan usaha individual dengan strategi dan
tujuan organisasi secara keseluruhan.
Prinsip-Prinsip Dasar Manajemen Kinerja
Ada beberapa prinsip fundamental yang harus dipegang dalam
menjalankan manajemen kinerja yang efektif.
1. Transparansi
Pertama, transparansi dan kejelasan. Setiap orang harus tahu
persis apa yang diharapkan dari mereka, bagaimana kinerja mereka akan diukur,
dan apa konsekuensi dari kinerja baik atau buruk.
2. Keadilan
Kedua, fairness dan konsistensi. Standar penilaian harus sama untuk semua orang di level yang sama. Favoritism atau bias akan merusak kredibilitas sistem manajemen kinerja.
3. Pengembangan
Ketiga, fokus pada pengembangan, bukan sekadar penilaian. Dalam
hal ini manajemen kinerja bukan cuma untuk mencari siapa yang salah, tapi untuk
membantu semua orang jadi lebih baik. Pendekatan coaching lebih efektif
daripada pendekatan policing.
4. Komunikasi
Keempat, komunikasi dua arah. Ini bukan monolog dari atasan
ke bawahan, tapi dialog. Maka karyawan harus punya kesempatan untuk memberikan
input, mengklarifikasi ekspektasi, dan mendiskusikan hambatan yang mereka
hadapi.
5. Berkelanjutan
Kelima, berkelanjutan, bukan sekali setahun. Feedback dan
monitoring harus dilakukan secara regular, bukan cuma saat performance
appraisal tahunan. Real-time feedback akan jauh lebih efektif untuk perbaikan
kinerja.
Kriteria Keberhasilan Manajemen Kinerja
Setelah kita tahu prinsip-prinsip dasar dalam manajemen
kinerja maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana sih kita tahu sistem
manajemen kinerja kita berhasil? Nah ada beberapa indikator yang bisa
digunakan.
Pertama, apakah karyawan merasa clear dengan ekspektasi dan
target mereka? Kalau masih banyak yang bingung, berarti sistem belum efektif.
Kedua, apakah ada peningkatan kinerja yang terukur dari waktu ke waktu? Sistem
yang baik seharusnya mendorong continuous improvement.
Ketiga, apakah karyawan merasa feedback yang mereka terima
itu membangun dan membantu? Kalau mereka justru demotivated setelah evaluasi,
ada yang salah dengan pendekatan kita.
Keempat, apakah keputusan promosi dan kompensasi
dipersepsikan adil oleh mayoritas karyawan? Dan kelima, apakah ada hubungan positif
antara kinerja individual dengan pencapaian organisasi? Kalau kinerja individu
tinggi tapi organisasi stagnan, berarti ada ketidakselarasan di suatu tempat.
Proses Manajemen Kinerja
Manajemen kinerja adalah siklus yang berulang dan
berkelanjutan. Maka dari itu ari kita breakdown prosesnya langkah demi langkah.
Semuanya dimulai dari misi organisasi dan tujuan strategis.
Ini adalah north star yang mengarahkan kemana organisasi ingin pergi. Dari
sini, diturunkan menjadi rencana dan tujuan bisnis serta departemen. Setiap
unit harus tahu bagaimana kontribusinya terhadap tujuan besar organisasi.
Selanjutnya, dibuat kesepakatan kinerja atau kontrak kinerja
antara manajer dan karyawan. Ini seperti kontrak sosial yang mendefinisikan
ekspektasi dua arah seperti apa yang harus dicapai karyawan dan dukungan apa
yang akan diberikan organisasi.
Dari kesepakatan ini, disusun rencana kinerja dan
pengembangan yang lebih detail. Bukan cuma tentang target angka, tapi juga
tentang skill apa yang perlu dikembangkan, pelatihan apa yang diperlukan, dan
bagaimana timeline pencapaiannya.
Kemudian masuk ke fase tindakan kerja dan pengembangan,
yaitu eksekusi dari rencana yang sudah disusun. Di fase ini, penting sekali ada
monitoring dan umpan balik berkelanjutan. Jangan tunggu sampai akhir tahun baru
kasih feedback itu sudah terlambat.
Terakhir, dilakukan review formal dan umpan balik di periode
tertentu biasanya sih per semester atau tahunan. Ini adalah momen untuk
refleksi mendalam seperti apa yang berhasil, apa yang perlu diperbaiki, dan apa
rencana ke depan.
Dan yang paling penting, ini adalah siklus setelah review,
kembali lagi ke perencanaan untuk periode berikutnya dengan insight yang sudah
didapat.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Kinerja seseorang itu dipengaruhi oleh banyak hal. Menurut
Gibson, ada tiga kelompok variabel utama
yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja.
1. Individu
Variabel individu mencakup kemampuan, skill, latar belakang
keluarga, pengalaman kerja, dan karakteristik demografis seperti usia dan
gender. Ini adalah faktor yang dibawa karyawan ke tempat kerja.
2. Organisasi
Variabel organisasi meliputi sumber daya, kepemimpinan,
reward system, struktur organisasi, dan desain pekerjaan. Ini adalah faktor
yang disediakan atau diciptakan oleh organisasi.
3. Psikologis
Variabel Psikologis seperti persepsi, sikap, kepribadian,
pembelajaran, dan motivasi. Ini adalah faktor yang terbentuk dari interaksi
antara individu dan lingkungan kerjanya.
Sementara itu, Davies menyederhanakannya jadi dua faktor
besar yaitu ability atau kemampuan dan motivasi. Formula ini sederhana tapi
powerful dimana Performance = Ability ×
Motivation. Kalau salah satu nol, performanya juga nol.
Seseorang bisa punya kemampuan tinggi, tapi kalau
motivasinya rendah, kinerjanya ga akan maksimal. Sebaliknya, motivasi setinggi
langit tapi ga punya skill yang dibutuhkan, ya percuma juga. Makanya organisasi
perlu memastikan keduanya terpenuhi.
Model-Model Manajemen Kinerja
Ada beberapa model atau framework yang bisa digunakan dalam
mengimplementasikan manajemen kinerja. Setiap model punya pendekatan dan
penekanan yang berbeda.
Model Deming menekankan pada continuous improvement
dan sistem manajemen mutu. Fokusnya pada proses, bukan hanya hasil. Filosofi
dibaliknya adalah perbaiki prosesnya, maka hasilnya akan ikut membaik.
Model Torrington dan Hall lebih fokus pada aspek
people management. Mereka menekankan pentingnya komunikasi, coaching, dan
pengembangan dalam manajemen kinerja jadi bukan sekadar evaluasi dan kontrol.
Model Costello mengintegrasikan performance
management dengan strategic planning. Model ini memastikan bahwa setiap
aktivitas kinerja terhubung dengan strategi organisasi secara keseluruhan.
Model Armstrong dan Baron adalah yang paling
komprehensif dan banyak digunakan. Model ini menggambarkan manajemen kinerja
sebagai siklus yang dimulai dari misi organisasi, diturunkan ke tujuan
departemen, kemudian ke kesepakatan kinerja individual, diikuti dengan aksi,
monitoring, dan review persis seperti yang sudah kita bahas di bagian proses
tadi.
Dua Pendekatan Pengembangan SDM
Dalam upaya meningkatkan kinerja, ada dua konsep utama yang
dianut organisasi modern dalam pengembangan sumber daya manusia. Yaitu :
Pengembangan Berbasis Kompetensi
Pendekatan ini fokus pada mengidentifikasi dan mengembangkan
kompetensi-kompetensi kunci yang dibutuhkan untuk sukses di posisi tertentu.
Kompetensi ini bisa berupa technical skills, soft skills, atau behavioral
competencies.
Pada praktiknya sebuah organisasi akan membuat sebuah
framework kompetensi yang mendefinisikan dengan jelas apa saja kompetensi yang
dibutuhkan pada setiap level dan fungsi.
Kemudian, dilakukan gap analysis untuk melihat kesenjangan
antara kompetensi yang dimiliki karyawan dengan yang dibutuhkan. Training dan
development program dirancang untuk menutup gap tersebut.
Kelebihan dari pendekatan berbasis kompetensi adalah
pendekatan ini sangat terstruktur dan measurable. Kemudian kelemahannya, bisa
jadi terlalu rigid dan ga mengakomodasi keunikan setiap individu.
Pengembangan Berbasis Talenta atau Bakat
Pendekatan ini lebih individualistik—mengidentifikasi bakat
alami setiap orang dan mengembangkannya maksimal. Filosofinya, lebih efektif
mengasah kekuatan yang sudah ada daripada memaksakan orang untuk jago di area
yang bukan bakatnya.
Talent management fokus pada menempatkan orang di posisi
yang align dengan kekuatan natural mereka. When people work in their zone of
genius, produktivitas dan kepuasan kerja meningkat drastis.
Organisasi terbaik biasanya mengkombinasikan kedua
pendekatan ini—memastikan competency baseline terpenuhi, sambil memberikan
ruang bagi setiap orang untuk berkembang sesuai talenta uniknya.
Perspektif tentang Manusia dalam Organisasi
Sebelum membahas lebih dalam, mari kita bahas filosofi manusia
dalam organisasi. Darsono mengingatkan kita bahwa dalam kehidupan sehari-hari,
manusia bisa dipandang dari dua perspektif yang berbeda yaitu sebagai makhluk
alamiah dan sebagai makhluk produktif.
Sebagai makhluk alamiah, manusia punya kebutuhan dasar yang
harus dipenuhi yaitu makan, istirahat, interaksi sosial, aktualisasi diri.
Maka organisasi yang hanya melihat karyawan sebagai mesin
produktif tanpa memperhatikan kebutuhan alamiah ini akan menciptakan lingkungan
kerja yang toxic.
Sebagai makhluk produktif, manusia punya kemampuan untuk
menghasilkan nilai, berkontribusi, dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat. Itulah
alasan mengapa organisasi perlu memfasilitasi dan mengoptimalkan potensi
produktif ini.
Keseimbangan di antara keduanya adalah kunci keberhasilan
organisasi. Treat people as humans first, employees second. Ketika kebutuhan
alamiah terpenuhi dengan baik, produktivitas akan mengalir dengan natural.
Kerja Upahan vs Kerja Kesadaran
Ada dua paradigma berbeda dalam memandang hubungan kerja
yaitu sistem ekonomi kapitalis dengan konsep "kerja upahan" dan
sistem ekonomi sosialis dengan konsep "kerja kesadaran."
1. Sistem Kapitalis
Dalam sistem ini, pekerja bekerja karena mengejar upah. Upah
ditentukan oleh mekanisme pasar yaitu permintaan dan penawaran tenaga kerja.
Tenaga kerja diperlakukan seperti barang dagangan yang bisa dibeli dan dijual.
Konsekuensinya, ada pembedaan antara "kerja pokok"
yaitu kerja untuk mengganti energi yang dikeluarkan dan "kerja laba" yaitu
kerja untuk menghasilkan profit perusahaan.
Maka dalam aplikasinya pekerja harus diseleksi dengan sangat
ketat dan hanya yang menguntungkan yang dipekerjakan, sehingga muncul
pengangguran struktural.
Dalam sistem ini, pekerja dilihat sebagai alat produksi.
Kemajuan teknologi justru jadi ancaman karena bisa menggantikan pekerja
manusia. Akibatnya, labor turnover tinggi, loyalitas rendah, dan sering terjadi
konflik antara pekerja, manajer, dan pemilik modal.
2. Sistem Sosialis
Paradigma ini memandang kerja sebagai keharusan sosial.
Manusia tidak boleh menjadi parasit yang hidup dari hasil kerja orang lain. Ada
dua macam kerja yaitu kerja pokok dan kerja sosial atau kerja untuk negara.
Pekerja ditempatkan sebagai pusat keberhasilan produksi,
bukan sekadar alat. Pekerjaan disesuaikan dengan keterampilan, bakat, dan
pengetahuan pekerja dan bukan pekerja yang harus menyesuaikan dengan kebutuhan
mesin produksi.
Dalam sistem ini, hampir tidak ada pemutusan hubungan kerja,
tidak ada konflik antara pekerja, manajer, dan negara. Kesadaran kerja tinggi
karena bekerja dipandang untuk kepentingan seluruh masyarakat, bukan hanya
untuk survival pribadi.
Tentu saja, dalam praktiknya tidak ada sistem yang
benar-benar murni. Kebanyakan organisasi modern mengambil elemen-elemen terbaik
dari kedua paradigma ini.
Peningkatan Kinerja Tim
Selain kinerja individual, kinerja tim juga sangat krusial.
Tim yang solid bisa menghasilkan output yang jauh lebih besar dari sekadar
jumlah kemampuan individual anggotanya.
Ada enam elemen kunci dalam meningkatkan kinerja tim:
Setting objectives yang jelas dan menantang. Hal ini karena
tim perlu tahu kemana mereka pergi dan apa yang mau dicapai bersama. Objectives
ini harus SMART yaitu Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound.
Work plans yang terstruktur. Siapa mengerjakan apa, kapan
tenggat waktunya, bagaimana koordinasinya, semua itu harus jelas. Penting untuk
menghindari asumsi "Lah pasti udah pada ngerti sendiri."
Team performance reviews secara berkala. Dalam praktiknya ga
cuma individual performance yang perlu direview, tapi juga performa tim secara
kolektif. Apa yang sudah jalan baik, apa yang perlu diperbaiki dalam
kolaborasi.
Meningkatkan kemampuan tim melalui training, workshop, atau
learning session. Nah skill development ini itu bukan cuma tanggung jawab
individu, tapi juga investasi untuk kapabilitas tim secara keseluruhan.
Meningkatkan motivasi bisa dengan menciptakan lingkungan
yang supportive, mengakui achievement, dan memberikan reward yang bermakna. Pembunuh
motivasi seperti lingkungan toxic atau micromanagement harus dieliminasi
Meningkatkan kesempatan untuk berkembang dan berkontribusi
lebih. Bisa dengan memberikan tantangan baru, ekspansi tanggung jawab, atau
eksposur ke area lain. Stagnasi adalah musuh utama motivasi tim.
Tantangan dalam Manajemen Kinerja
Implementasi manajemen kinerja yang efektif bukan tanpa
tantangan. Ada beberapa hambatan yang sering muncul.
1. Resistensi terhadap perubahan.
Banyak orang nyaman dengan cara lama dan merasa terancam
dengan sistem evaluasi yang lebih ketat. Komunikasi yang baik tentang purpose
dan benefit sistem baru sangat penting.
2. Bias dalam penilaian
Kedua, bias dalam penilaian. Halo effect, recency bias, atau
favoritism bisa merusak objektivitas evaluasi. Maka dari itu training untuk
evaluator dan penggunaan multiple raters bisa membantu meminimalkan bias.
3. Time consuming.
Yang ketiga time consuming. Hal ini karena manajemen kinerja
yang baik memang butuh waktu dan effort. Banyak manajer yang merasa terlalu
sibuk untuk melakukan coaching atau monitoring regular. Padahal ini adalah
investasi yang payoff-nya besar dalam jangka panjang.
4. Mismatch antara sistem dengan budaya organisasi.
Sistem manajemen kinerja yang terlalu kompetitif bisa
merusak budaya kolaborasi. Sebaliknya, budaya yang terlalu
"kekeluargaan" bisa bikin sistem evaluasi jadi tumpul.
5. Fokus berlebihan pada metrics
Metrik memang penting akan tetapi ada bahaya yang tersembunyi ketika semua harus
diukur dan dijadikan angka. Beberapa aspek penting seperti kreativitas,
kolaborasi, atau mentoring sulit dikuantifikasi tapi sangat valuable.
Mengintegrasikan Komitmen dan Kinerja
Nah, sekarang kita kembali ke pertanyaan awal bagaimana
mengelola komitmen dan kinerja secara bersamaan?
Kuncinya adalah memahami bahwa keduanya saling mempengaruhi
dalam dynamic relationship. Kinerja yang baik, bila diakui dan dihargai dengan benar,
akan meningkatkan komitmen. Sebaliknya, komitmen yang tinggi akan mendorong
karyawan untuk memberikan performa terbaik mereka.
Maka dari itu organisasi perlu menciptakan ecosystem dimana
komitmen dan kinerja sama-sama diperhatikan dan difasilitasi. Ini berarti organisasi harus :
- Pertama, menciptakan lingkungan kerja yang bermakna dimana orang-orang didalamnya akan merasa kontribusinya berharga dan selaras dengan nilai pribadi mereka. Ini membangun komitmen afektif.
- Kedua, memberikan ekspektasi yang jelas, feedback berkala, dan support yang dibutuhkan untuk bisa perform. Ini adalah esensi manajemen kinerja yang efektif.
- Ketiga, memastikan keadilan dalam sistem reward dan recognition. Orang yang perform harus diapresiasi, dan orang yang belum optimal harus dibantu untuk improve bukan malah dijudge atau dikesampingkan
- Keempat, investasi dalam pengembangan SDM. Ketika organisasi investasi dalam pertumbuhan karyawannya, itu siyal kuat bahwa organisasi peduli dengan masa depan mereka, hal ini akan membangun komitmen.
- Kelima, kepemimpinan yang authentic dan supportive. Seorang pemimpin yang jadi role model, yang walk the talk, dan yang genuinely peduli pada orang-orangnya akan menciptakan kultur komitmen dan high performance.
Simbiosis Mutualisme Komitmen dan Kinerja
Di akhir perjalanan kita membahas komitmen dan kinerja, ada
satu hal yang perlu kita garis bawahi yaitu keduanya bukan dua hal terpisah
yang berjalan independen. Mereka adalah dua elemen yang saling menguatkan.
Organisasi yang hanya fokus pada kinerja tanpa membangun
komitmen akan punya workforce yang transaksional dan mereka akan deliver
minimal requirement dan mudah pindah begitu ada tawaran lebih baik.
Nah sebaliknya, organisasi yang hanya fokus pada membangun
komitmen tanpa mengelola performa dengan baik akan jadi comfort zone yang membuat
mereka menjadi tidak competitive.
Maka jelas yang kita butuhkan adalah keseimbangan yang
tepat. Sistem manajemen kinerja yang fair dan developmental akan meningkatkan
komitmen. Karyawan yang berkomitmen akan
dengan senang hati memberikan effort lebih yang membuat performa melampaui
target.
Dalam era talent war seperti sekarang, organisasi yang
berhasil adalah mereka yang bisa menciptakan value proposition yang compelling yakni
"Di sini kamu akan berkembang maksimal (performance), dan kamu akan merasa
ini adalah home (commitment)."




Posting Komentar