Hubungan Komitmen dan Manajemen Kinerja Karyawan dalam Organisasi

Pernah ga sih kamu bertanya-tanya, kenapa ada karyawan yang rela bertahan hingga puluhan tahun di satu perusahaan, sementara yang lainnya malah memilih resign setelah hanya beberapa bulan saja?

Atau kenapa ada sebuah tim yang produktivitasnya tinggi banget, sementara di tempat lain ada sebuah tim yang memiliki sumber daya yang sama malah ga ke mana-mana dan hanya jalan di tempat?

Rahasianya terletak pada dua hal yaitu komitmen dan kinerja. Keduanya seperti dua sisi mata uang yang ga bisa dipisahin dalam dunia organisasi.

Komitmen tanpa kinerja cuma jadi loyalitas kosong, sementara kinerja tanpa komitmen cuma akan bertahan sementara. 

Nah, pada artikel ini kita akan membedah bagaimana sih cara mengelola keduanya agar organisasi bisa mencapai performa maksimal. Yuk kita bahas.

Komitmen dalam Organisasi

Memahami Komitmen Organisasi

Komitmen dalam organisasi itu bukan cuma sekadar betah kerja di suatu tempat. Lebih dari itu, komitmen adalah keterikatan emosional dan psikologis karyawan pada organisasi tempat mereka bekerja.

Maknanya komitmen dalam organisasi itu tentang seberapa dalam seseorang merasa "ini adalah tempat saya" dan "saya bagian dari keluarga besar ini."

Tiga Komponen Komitmen Organisasi

Menurut Meyer dan Allen, komitmen organisasi punya tiga komponen utama yang membentuk keseluruhan keterikatan karyawan, yaitu :

1. Afektif

Komitmen afektif adalah bentuk keterikatan emosional yang paling ideal. Karyawan dengan komitmen afektif tinggi itu yang benar-benar cinta sama pekerjaannya, bangga jadi bagian dari organisasi, dan merasa nilai-nilai pribadinya beriringan dengan nilai perusahaan.

Dalam dunia nyata alasan mereka bertahan pada pekerjaan mereka di organisasi itu bukan karena terpaksa atau karena mereka membutuhkan pekerjaan itu, tapi karena memang mau dan ingin.

2. continuance

Yang kedua komitmen bersinambung atau continuance commitment lebih pragmatis sifatnya. Di sini karyawan bertahan karena mereka sudah menginvestasikan banyak hal baik itu waktu, tenaga, maupun skill spesifik dan mereka merasa akan rugi kalau harus pindah.

Atau alasan lainya mungkin mereka memang membutuhkan pekerjaan itu dan tidak punya alternatif pekerjaan lain yang lebih baik. Jenis komitmen ini lebih transaksional dan kurang stabil dibanding komitmen afektif.

3.Normatif

Sebuah komitmen normatif tumbuh dari rasa kewajiban atau tanggung jawab. Karyawan yang memiliki rasa "hutang budi" terhadap organisasi bisa karena perusahaan pernah membiayai pendidikan mereka, atau memberikan kesempatan saat orang lain menolak.

Mereka akan bertahan pada organisasi karena merasa bahwa hal itu adalah hal yang "benar" untuk dilakukan.

Menariknya, ketiga komponen ini bisa ada secara bersamaan dalam diri satu karyawan dengan proporsi yang berbeda-beda. Kombinasi ketiganya yang menentukan seberapa kuat komitmen seseorang pada organisasi.

Ciri-Ciri Komitmen Organisasi yang Kuat

Menurut Mowday dan rekan-rekannya, ada tiga ciri khas yang menandai komitmen organisasi yang kuat. Pertama, adanya kepercayaan yang kuat dan penerimaan terhadap tujuan serta nilai organisasi.

Karyawan yang berkomitmen itu bukan cuma hafal visi misi perusahaan, tapi benar-benar meyakini dan menjadikannya panduan mereka dalam bekerja.

Kedua, kesiapan untuk bekerja keras. Ini bukan soal lembur terus-menerus atau workaholic, tapi tentang kemauan memberikan usaha ekstra saat dibutuhkan. Mereka yang berkomitmen akan berusaha untuk melakukan lebih tanpa perlu disuruh berkali-kali.

Ketiga, keinginan yang kuat untuk bertahan dalam organisasi. Karyawan dengan komitmen tinggi itu tidak akan mudah tergoda tawaran dari kompetitor atau langsung resign begitu ada masalah kecil. Mereka punya attachment dan investasi emosional pada organisasi.

Apa yang Mempengaruhi Komitmen?

Komitmen organisasi itu ga muncul begitu saja tahu!. Ada berbagai faktor yang membentuk dan mempengaruhinya. Nah, menurut penelitian Steers, Meyer, dan Allen, faktor-faktor ini bisa dikelompokkan menjadi empat kategori besar, yaitu :

1. Karakteristik Personal

Ini meliputi usia, masa kerja, tingkat pendidikan, dan kepribadian seseorang. Penelitian menunjukkan karyawan yang lebih senior cenderung punya komitmen jauh lebih tinggi, mereka sudah punya lebih banyak investasi emosional dan material di organisasi.

Dalam kategori ini kepribadian juga berperan. Orang dengan locus of control internal atau merasa bisa mengontrol nasibnya sendiri akan cenderung lebih berkomitmen dibanding yang external dan merasa nasibnya ditentukan faktor luar.

2. Karakteristik Jabatan atau Pekerjaan

Cakupan pekerjaan, tantangan pekerjaan, dan otonomi yang diberikan sangat mempengaruhi komitmen. Karyawan yang pekerjaannya monoton dan ga ada ruang untuk berkembang akan cepat bosan dan kehilangan komitmen.

Sebaliknya, pekerjaan yang memberikan tantangan sesuai kemampuan, ruang untuk kreativitas, dan jenjang karir yang pasti akan membangun komitmen yang kuat. Hal ini karena orang butuh merasa bahwa apa yang mereka kerjakan itu meaningful dan berkontribusi pada gambaran besar.

3.  Karakteristik Struktur Organisasi

Desentralisasi keputusan, kebijakan yang adil, dan budaya organisasi yang positif menciptakan lingkungan yang kondusif untuk komitmen. Organisasi yang terlalu birokratis dan kaku akan menghambat tumbuhnya komitmen.

Dalam penerapannya transparansi dan komunikasi juga penting. Karyawan perlu tahu apa yang terjadi di organisasi, ke mana arahnya, dan bagaimana kontribusi mereka berperan dalam kesuksesan bersama.

4. Pengalaman Kerja

Pengalaman positif seperti mendapat pengakuan, kesempatan berkembang, atau dukungan saat kesulitan akan meningkatkan komitmen. Sebaliknya, pengalaman negatif seperti diperlakukan tidak adil atau janji yang tidak ditepati akan mengikis komitmen dengan cepat.

Proses sosialisasi saat awal masuk kerja juga krusial. First impression dalam pekerjaan itu sangat berpengaruh, pengalaman bulan-bulan pertama akan membentuk persepsi dan komitmen jangka panjang karyawan.

Manajemen Kinerja

Mengenal Manajemen Kinerja

Kalau komitmen bicara soal keterikatan, maka kinerja bicara soal hasil nyata. Manajemen kinerja adalah sistem yang dirancang untuk memastikan setiap individu dan tim dalam organisasi mencapai performa optimal dan berkontribusi pada tujuan organisasi.

Jadi ini bukan sekadar evaluasi tahunan atau ngasih nilai ke bawahan. Manajemen kinerja yang efektif adalah proses berkelanjutan yang melibatkan perencanaan, monitoring, pengembangan, dan evaluasi performa secara sistematis.

Tujuan Manajemen Kinerja

Manajemen kinerja punya beberapa tujuan strategis yang saling terkait. Pertama, untuk memastikan karyawan memahami apa yang diharapkan dari mereka baik itu target apa yang harus dicapai hingga standar apa yang harus dipenuhi.

Kedua, untuk mengidentifikasi gap antara kinerja aktual dengan kinerja yang diharapkan, sehingga bisa diambil langkah perbaikan. Ketiga, untuk memberikan feedback dan pelatihan membantu karyawan berkembang.

Keempat, untuk membuat keputusan terkait promosi, kompensasi, dan pengembangan karir berbasis data dan fakta, bukan asumsi atau siapa terfavorit. Terakhir, untuk menyelaraskan usaha individual dengan strategi dan tujuan organisasi secara keseluruhan.

Prinsip-Prinsip Dasar Manajemen Kinerja

Ada beberapa prinsip fundamental yang harus dipegang dalam menjalankan manajemen kinerja yang efektif.

1. Transparansi

Pertama, transparansi dan kejelasan. Setiap orang harus tahu persis apa yang diharapkan dari mereka, bagaimana kinerja mereka akan diukur, dan apa konsekuensi dari kinerja baik atau buruk.

2. Keadilan

Kedua, fairness dan konsistensi. Standar penilaian harus sama untuk semua orang di level yang sama. Favoritism atau bias akan merusak kredibilitas sistem manajemen kinerja.

3. Pengembangan

Ketiga, fokus pada pengembangan, bukan sekadar penilaian. Dalam hal ini manajemen kinerja bukan cuma untuk mencari siapa yang salah, tapi untuk membantu semua orang jadi lebih baik. Pendekatan coaching lebih efektif daripada pendekatan policing.

4. Komunikasi

Keempat, komunikasi dua arah. Ini bukan monolog dari atasan ke bawahan, tapi dialog. Maka karyawan harus punya kesempatan untuk memberikan input, mengklarifikasi ekspektasi, dan mendiskusikan hambatan yang mereka hadapi.

5. Berkelanjutan

Kelima, berkelanjutan, bukan sekali setahun. Feedback dan monitoring harus dilakukan secara regular, bukan cuma saat performance appraisal tahunan. Real-time feedback akan jauh lebih efektif untuk perbaikan kinerja.

Kriteria Keberhasilan Manajemen Kinerja

Setelah kita tahu prinsip-prinsip dasar dalam manajemen kinerja maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana sih kita tahu sistem manajemen kinerja kita berhasil? Nah ada beberapa indikator yang bisa digunakan.

Pertama, apakah karyawan merasa clear dengan ekspektasi dan target mereka? Kalau masih banyak yang bingung, berarti sistem belum efektif. Kedua, apakah ada peningkatan kinerja yang terukur dari waktu ke waktu? Sistem yang baik seharusnya mendorong continuous improvement.

Ketiga, apakah karyawan merasa feedback yang mereka terima itu membangun dan membantu? Kalau mereka justru demotivated setelah evaluasi, ada yang salah dengan pendekatan kita.

Keempat, apakah keputusan promosi dan kompensasi dipersepsikan adil oleh mayoritas karyawan? Dan kelima, apakah ada hubungan positif antara kinerja individual dengan pencapaian organisasi? Kalau kinerja individu tinggi tapi organisasi stagnan, berarti ada ketidakselarasan di suatu tempat.

Proses Manajemen Kinerja

Manajemen kinerja adalah siklus yang berulang dan berkelanjutan. Maka dari itu ari kita breakdown prosesnya langkah demi langkah.

Semuanya dimulai dari misi organisasi dan tujuan strategis. Ini adalah north star yang mengarahkan kemana organisasi ingin pergi. Dari sini, diturunkan menjadi rencana dan tujuan bisnis serta departemen. Setiap unit harus tahu bagaimana kontribusinya terhadap tujuan besar organisasi.

Selanjutnya, dibuat kesepakatan kinerja atau kontrak kinerja antara manajer dan karyawan. Ini seperti kontrak sosial yang mendefinisikan ekspektasi dua arah seperti apa yang harus dicapai karyawan dan dukungan apa yang akan diberikan organisasi.

Dari kesepakatan ini, disusun rencana kinerja dan pengembangan yang lebih detail. Bukan cuma tentang target angka, tapi juga tentang skill apa yang perlu dikembangkan, pelatihan apa yang diperlukan, dan bagaimana timeline pencapaiannya.

Kemudian masuk ke fase tindakan kerja dan pengembangan, yaitu eksekusi dari rencana yang sudah disusun. Di fase ini, penting sekali ada monitoring dan umpan balik berkelanjutan. Jangan tunggu sampai akhir tahun baru kasih feedback itu sudah terlambat.

Terakhir, dilakukan review formal dan umpan balik di periode tertentu biasanya sih per semester atau tahunan. Ini adalah momen untuk refleksi mendalam seperti apa yang berhasil, apa yang perlu diperbaiki, dan apa rencana ke depan.

Dan yang paling penting, ini adalah siklus setelah review, kembali lagi ke perencanaan untuk periode berikutnya dengan insight yang sudah didapat.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Kinerja seseorang itu dipengaruhi oleh banyak hal. Menurut Gibson,  ada tiga kelompok variabel utama yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja.

1. Individu

Variabel individu mencakup kemampuan, skill, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, dan karakteristik demografis seperti usia dan gender. Ini adalah faktor yang dibawa karyawan ke tempat kerja.

2. Organisasi

Variabel organisasi meliputi sumber daya, kepemimpinan, reward system, struktur organisasi, dan desain pekerjaan. Ini adalah faktor yang disediakan atau diciptakan oleh organisasi.

3. Psikologis

Variabel Psikologis seperti persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran, dan motivasi. Ini adalah faktor yang terbentuk dari interaksi antara individu dan lingkungan kerjanya.

Sementara itu, Davies menyederhanakannya jadi dua faktor besar yaitu ability atau kemampuan dan motivasi. Formula ini sederhana tapi powerful dimana  Performance = Ability × Motivation. Kalau salah satu nol, performanya juga nol.

Seseorang bisa punya kemampuan tinggi, tapi kalau motivasinya rendah, kinerjanya ga akan maksimal. Sebaliknya, motivasi setinggi langit tapi ga punya skill yang dibutuhkan, ya percuma juga. Makanya organisasi perlu memastikan keduanya terpenuhi.

Model-Model Manajemen Kinerja

Ada beberapa model atau framework yang bisa digunakan dalam mengimplementasikan manajemen kinerja. Setiap model punya pendekatan dan penekanan yang berbeda.

Model Deming menekankan pada continuous improvement dan sistem manajemen mutu. Fokusnya pada proses, bukan hanya hasil. Filosofi dibaliknya adalah perbaiki prosesnya, maka hasilnya akan ikut membaik.

Model Torrington dan Hall lebih fokus pada aspek people management. Mereka menekankan pentingnya komunikasi, coaching, dan pengembangan dalam manajemen kinerja jadi bukan sekadar evaluasi dan kontrol.

Model Costello mengintegrasikan performance management dengan strategic planning. Model ini memastikan bahwa setiap aktivitas kinerja terhubung dengan strategi organisasi secara keseluruhan.

Model Armstrong dan Baron adalah yang paling komprehensif dan banyak digunakan. Model ini menggambarkan manajemen kinerja sebagai siklus yang dimulai dari misi organisasi, diturunkan ke tujuan departemen, kemudian ke kesepakatan kinerja individual, diikuti dengan aksi, monitoring, dan review persis seperti yang sudah kita bahas di bagian proses tadi.

Dua Pendekatan Pengembangan SDM

Dalam upaya meningkatkan kinerja, ada dua konsep utama yang dianut organisasi modern dalam pengembangan sumber daya manusia. Yaitu :

Pengembangan Berbasis Kompetensi

Pendekatan ini fokus pada mengidentifikasi dan mengembangkan kompetensi-kompetensi kunci yang dibutuhkan untuk sukses di posisi tertentu. Kompetensi ini bisa berupa technical skills, soft skills, atau behavioral competencies.

Pada praktiknya sebuah organisasi akan membuat sebuah framework kompetensi yang mendefinisikan dengan jelas apa saja kompetensi yang dibutuhkan pada setiap level dan fungsi.

Kemudian, dilakukan gap analysis untuk melihat kesenjangan antara kompetensi yang dimiliki karyawan dengan yang dibutuhkan. Training dan development program dirancang untuk menutup gap tersebut.

Kelebihan dari pendekatan berbasis kompetensi adalah pendekatan ini sangat terstruktur dan measurable. Kemudian kelemahannya, bisa jadi terlalu rigid dan ga mengakomodasi keunikan setiap individu.

Pengembangan Berbasis Talenta atau Bakat

Pendekatan ini lebih individualistik—mengidentifikasi bakat alami setiap orang dan mengembangkannya maksimal. Filosofinya, lebih efektif mengasah kekuatan yang sudah ada daripada memaksakan orang untuk jago di area yang bukan bakatnya.

Talent management fokus pada menempatkan orang di posisi yang align dengan kekuatan natural mereka. When people work in their zone of genius, produktivitas dan kepuasan kerja meningkat drastis.

Organisasi terbaik biasanya mengkombinasikan kedua pendekatan ini—memastikan competency baseline terpenuhi, sambil memberikan ruang bagi setiap orang untuk berkembang sesuai talenta uniknya.

Perspektif Manusia dalam Organisasi

Perspektif tentang Manusia dalam Organisasi

Sebelum membahas lebih dalam, mari kita bahas filosofi manusia dalam organisasi. Darsono mengingatkan kita bahwa dalam kehidupan sehari-hari, manusia bisa dipandang dari dua perspektif yang berbeda yaitu sebagai makhluk alamiah dan sebagai makhluk produktif.

Sebagai makhluk alamiah, manusia punya kebutuhan dasar yang harus dipenuhi yaitu makan, istirahat, interaksi sosial, aktualisasi diri.

Maka organisasi yang hanya melihat karyawan sebagai mesin produktif tanpa memperhatikan kebutuhan alamiah ini akan menciptakan lingkungan kerja yang toxic.

Sebagai makhluk produktif, manusia punya kemampuan untuk menghasilkan nilai, berkontribusi, dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat. Itulah alasan mengapa organisasi perlu memfasilitasi dan mengoptimalkan potensi produktif ini.

Keseimbangan di antara keduanya adalah kunci keberhasilan organisasi. Treat people as humans first, employees second. Ketika kebutuhan alamiah terpenuhi dengan baik, produktivitas akan mengalir dengan natural.

Kerja Upahan vs Kerja Kesadaran

Ada dua paradigma berbeda dalam memandang hubungan kerja yaitu sistem ekonomi kapitalis dengan konsep "kerja upahan" dan sistem ekonomi sosialis dengan konsep "kerja kesadaran."

1. Sistem Kapitalis

Dalam sistem ini, pekerja bekerja karena mengejar upah. Upah ditentukan oleh mekanisme pasar yaitu permintaan dan penawaran tenaga kerja. Tenaga kerja diperlakukan seperti barang dagangan yang bisa dibeli dan dijual.

Konsekuensinya, ada pembedaan antara "kerja pokok" yaitu kerja untuk mengganti energi yang dikeluarkan dan "kerja laba" yaitu kerja untuk menghasilkan profit perusahaan.

Maka dalam aplikasinya pekerja harus diseleksi dengan sangat ketat dan hanya yang menguntungkan yang dipekerjakan, sehingga muncul pengangguran struktural.

Dalam sistem ini, pekerja dilihat sebagai alat produksi. Kemajuan teknologi justru jadi ancaman karena bisa menggantikan pekerja manusia. Akibatnya, labor turnover tinggi, loyalitas rendah, dan sering terjadi konflik antara pekerja, manajer, dan pemilik modal.

2. Sistem Sosialis

Paradigma ini memandang kerja sebagai keharusan sosial. Manusia tidak boleh menjadi parasit yang hidup dari hasil kerja orang lain. Ada dua macam kerja yaitu kerja pokok dan kerja sosial atau kerja untuk negara.

Pekerja ditempatkan sebagai pusat keberhasilan produksi, bukan sekadar alat. Pekerjaan disesuaikan dengan keterampilan, bakat, dan pengetahuan pekerja dan bukan pekerja yang harus menyesuaikan dengan kebutuhan mesin produksi.

Dalam sistem ini, hampir tidak ada pemutusan hubungan kerja, tidak ada konflik antara pekerja, manajer, dan negara. Kesadaran kerja tinggi karena bekerja dipandang untuk kepentingan seluruh masyarakat, bukan hanya untuk survival pribadi.

Tentu saja, dalam praktiknya tidak ada sistem yang benar-benar murni. Kebanyakan organisasi modern mengambil elemen-elemen terbaik dari kedua paradigma ini.

Peningkatan Kinerja Tim

Selain kinerja individual, kinerja tim juga sangat krusial. Tim yang solid bisa menghasilkan output yang jauh lebih besar dari sekadar jumlah kemampuan individual anggotanya.

Ada enam elemen kunci dalam meningkatkan kinerja tim:

Setting objectives yang jelas dan menantang. Hal ini karena tim perlu tahu kemana mereka pergi dan apa yang mau dicapai bersama. Objectives ini harus SMART yaitu Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound.

Work plans yang terstruktur. Siapa mengerjakan apa, kapan tenggat waktunya, bagaimana koordinasinya, semua itu harus jelas. Penting untuk menghindari asumsi "Lah pasti udah pada ngerti sendiri."

Team performance reviews secara berkala. Dalam praktiknya ga cuma individual performance yang perlu direview, tapi juga performa tim secara kolektif. Apa yang sudah jalan baik, apa yang perlu diperbaiki dalam kolaborasi.

Meningkatkan kemampuan tim melalui training, workshop, atau learning session. Nah skill development ini itu bukan cuma tanggung jawab individu, tapi juga investasi untuk kapabilitas tim secara keseluruhan.

Meningkatkan motivasi bisa dengan menciptakan lingkungan yang supportive, mengakui achievement, dan memberikan reward yang bermakna. Pembunuh motivasi seperti lingkungan toxic atau micromanagement harus dieliminasi

Meningkatkan kesempatan untuk berkembang dan berkontribusi lebih. Bisa dengan memberikan tantangan baru, ekspansi tanggung jawab, atau eksposur ke area lain. Stagnasi adalah musuh utama motivasi tim.

Tantangan dalam Manajemen Kinerja

Implementasi manajemen kinerja yang efektif bukan tanpa tantangan. Ada beberapa hambatan yang sering muncul.

1. Resistensi terhadap perubahan.

Banyak orang nyaman dengan cara lama dan merasa terancam dengan sistem evaluasi yang lebih ketat. Komunikasi yang baik tentang purpose dan benefit sistem baru sangat penting.

2. Bias dalam penilaian

Kedua, bias dalam penilaian. Halo effect, recency bias, atau favoritism bisa merusak objektivitas evaluasi. Maka dari itu training untuk evaluator dan penggunaan multiple raters bisa membantu meminimalkan bias.

3. Time consuming.

Yang ketiga time consuming. Hal ini karena manajemen kinerja yang baik memang butuh waktu dan effort. Banyak manajer yang merasa terlalu sibuk untuk melakukan coaching atau monitoring regular. Padahal ini adalah investasi yang payoff-nya besar dalam jangka panjang.

4. Mismatch antara sistem dengan budaya organisasi.

Sistem manajemen kinerja yang terlalu kompetitif bisa merusak budaya kolaborasi. Sebaliknya, budaya yang terlalu "kekeluargaan" bisa bikin sistem evaluasi jadi tumpul.

5. Fokus berlebihan pada metrics

Metrik memang penting akan tetapi  ada bahaya yang tersembunyi ketika semua harus diukur dan dijadikan angka. Beberapa aspek penting seperti kreativitas, kolaborasi, atau mentoring sulit dikuantifikasi tapi sangat valuable.

Mengintegrasikan Komitmen dan Kinerja

Nah, sekarang kita kembali ke pertanyaan awal bagaimana mengelola komitmen dan kinerja secara bersamaan?

Kuncinya adalah memahami bahwa keduanya saling mempengaruhi dalam dynamic relationship. Kinerja yang baik, bila diakui dan dihargai dengan benar, akan meningkatkan komitmen. Sebaliknya, komitmen yang tinggi akan mendorong karyawan untuk memberikan performa terbaik mereka.

Maka dari itu organisasi perlu menciptakan ecosystem dimana komitmen dan kinerja sama-sama diperhatikan dan difasilitasi. Ini berarti organisasi harus :

  • Pertama, menciptakan lingkungan kerja yang bermakna dimana orang-orang didalamnya akan merasa kontribusinya berharga dan selaras dengan nilai pribadi mereka. Ini membangun komitmen afektif.
  • Kedua, memberikan ekspektasi yang jelas, feedback berkala, dan support yang dibutuhkan untuk bisa perform. Ini adalah esensi manajemen kinerja yang efektif.
  • Ketiga, memastikan keadilan dalam sistem reward dan recognition. Orang yang perform harus diapresiasi, dan orang yang belum optimal harus dibantu untuk improve bukan malah dijudge atau dikesampingkan
  • Keempat, investasi dalam pengembangan SDM. Ketika organisasi investasi dalam pertumbuhan karyawannya, itu siyal kuat bahwa organisasi peduli dengan masa depan mereka, hal ini akan membangun komitmen.
  • Kelima, kepemimpinan yang authentic dan supportive. Seorang pemimpin yang jadi role model, yang walk the talk, dan yang genuinely  peduli pada orang-orangnya akan menciptakan kultur komitmen dan high performance.

Simbiosis Mutualisme Komitmen dan Kinerja

Di akhir perjalanan kita membahas komitmen dan kinerja, ada satu hal yang perlu kita garis bawahi yaitu keduanya bukan dua hal terpisah yang berjalan independen. Mereka adalah dua elemen yang saling menguatkan.

Organisasi yang hanya fokus pada kinerja tanpa membangun komitmen akan punya workforce yang transaksional dan mereka akan deliver minimal requirement dan mudah pindah begitu ada tawaran lebih baik.

Nah sebaliknya, organisasi yang hanya fokus pada membangun komitmen tanpa mengelola performa dengan baik akan jadi comfort zone yang membuat mereka menjadi tidak competitive.

Maka jelas yang kita butuhkan adalah keseimbangan yang tepat. Sistem manajemen kinerja yang fair dan developmental akan meningkatkan komitmen. Karyawan yang berkomitmen akan dengan senang hati memberikan effort lebih yang membuat performa melampaui target.

Dalam era talent war seperti sekarang, organisasi yang berhasil adalah mereka yang bisa menciptakan value proposition yang compelling yakni "Di sini kamu akan berkembang maksimal (performance), dan kamu akan merasa ini adalah home (commitment)."

Posting Komentar