Pernahkah kamu bertanya-tanya, kenapa sistem ekonomi dunia saat ini masih penuh dengan ketimpangan? Di mana si kaya makin kaya, sedangkan si miskin makin miskin.
Gap antara yang orang punya dan orang tidak punyapun semakin
menganga lebar. Ironisnya, ini terjadi bukan karena bumi kita kekurangan sumber
daya, tapi karena ada yang salah dalam sistem distribusinya.
Nah, di sinilah Islam hadir dengan solusi yang komprehensif.
Bukan cuma mengatur soal ibadah, Islam juga punya sistem ekonomi yang adil dan
berkelanjutan.
Dari proses produksi, distribusi, sampai konsumsi, semuanya
diatur dengan prinsip-prinsip yang menjunjung tinggi keadilan dan kesejahteraan
bersama.
Nah setelah sebelumnya kita membahas konsep bisnis islam, pada artikel ini kita akan menyelami bagaimana Islam mengatur tiga pilar penting dalam ekonomi yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi.
Yuk, mari kita pelajari bersama agar bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari!
Produksi dalam Perspektif Islam: Lebih dari Sekadar
Mencari Untung
Kalau kita ngomongin produksi, kebanyakan orang langsung
mikir tentang pabrik, mesin, dan target penjualan. Tapi tunggu dulu, dalam
Islam, konsep produksi punya makna yang jauh lebih dalam dan bermakna.
Apa Sebenarnya Produksi Menurut Islam?
Pada dasarnya produksi dalam ekonomi Islam adalah setiap
bentuk aktivitas yang dilakukan manusia untuk mewujudkan manfaat atau
menambahnya dengan cara mengeksplorasi sumber-sumber ekonomi yang disediakan
Allah SWT.
Tujuannya? Supaya sumber daya tersebut menjadi maslahat
(bermanfaat) untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Jadi, produksi bukan sekadar menghasilkan barang atau jasa
untuk dijual. Lebih dari itu, ini adalah bentuk ibadah kita sebagai manusia dalam
mengelola amanah Allah.
Setiap aktivitas produksi yang kita lakukan, mulai dari
bertani, berdagang, sampai membuka usaha jasa, semuanya adalah bagian dari
upaya kita untuk memakmurkan bumi.
Hal ini juga dijelaskan Allah SWT dalam Surah Al-Mulk ayat
15 yakni "Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya."
Ayat ini bukan cuma perintah untuk mencari rezeki, tapi juga
pengingat bahwa Allah sudah menyediakan segala yang kita butuhkan di bumi ini.
Tugas kita adalah mengolah dan memanfaatkannya dengan cara yang benar.
Motif Produksi yang Berbeda
Nah, ini dia yang bikin produksi dalam Islam beda dari
sistem konvensional. Menurut Yusuf Qardhawi, produksi dalam Islam punya tiga
motif utama yaitu kemaslahatan, kebutuhan, dan kewajiban. Bukan semata-mata
karena profit atau keuntungan semata.
Motif kemaslahatan berarti setiap kegiatan produksi harus
membawa manfaat, bukan hanya untuk produsennya tapi juga untuk masyarakat luas.
Motif kebutuhan artinya produksi ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan riil manusia, bukan sekadar menciptakan permintaan artifisial lewat
iklan yang bombastis.
Sedangkan motif kewajiban adalah kesadaran bahwa bekerja dan
berproduksi adalah kewajiban setiap muslim yang mampu untuk membangun
kemandirian umat.
Dengan motif seperti ini, produsen Muslim tidak akan cuma
asal produksi. Dia akan mempertimbangkan apakah produk ini halal? Apakah
bermanfaat? Apakah prosesnya tidak merusak lingkungan? Semua pertanyaan ini
harus dijawab dulu sebelum memulai produksi.
Setelah paham tentang konsep dan motif produksi, sekarang
mari kita bahas prinsip-prinsipnya. Ada lima prinsip fundamental yang harus
diperhatikan oleh setiap produsen Muslim.
1. Berproduksi dalam Lingkaran Halal
Ini adalah prinsip paling dasar dan tidak bisa
ditawar-tawar. Setiap muslim, baik individu maupun komunitas, wajib berpegang
pada semua yang dihalalkan Allah dan tidak melewati batas. Simpel kan?
Tapi dalam praktiknya, prinsip ini punya implikasi yang
luas. Kamu tidak boleh menanam tanaman yang berbahaya bagi manusia, Kamu juga
dilarang memproduksi barang-barang haram, baik haram zatnya maupun haram
penggunaannya.
Contoh kasusnya banyak. Misalnya membuat patung untuk disembah? Haram. Produksi gelang emas untuk laki-laki? Itu juga haram.
contoh lainya membuat konten yang mengandung
pornografi dan sadisme? Jelas haram. Syariat Islam sangat tegas melarang
produksi produk yang merusak akidah, etika, dan moral manusia.
Yang menarik, prinsip ini juga berlaku untuk proses
produksi. Meskipun produknya halal, tapi kalau prosesnya melibatkan hal-hal
yang haram seperti eksploitasi pekerja atau merusak lingkungan, tetap tidak
dibenarkan dalam Islam.
2. Keadilan dalam Berproduksi
Sistem ekonomi Islam sudah memberikan keadilan dan persamaan
dalam prinsip produksi sesuai kemampuan masing-masing tanpa menindas orang lain
atau menghancurkan masyarakat.
Al-Qur'an memperbolehkan kerjasama yang saling menguntungkan
dengan jujur, sederajat, dan memberikan keuntungan bagi kedua pihak.
Yang tidak dibenarkan adalah cara-cara yang hanya
menguntungkan satu pihak, apalagi yang mendatangkan kerugian pada orang lain
atau merugikan kepentingan umum.
Allah menegaskan dalam Surah An-Nisa ayat 29: "wahai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang
batil, kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara
kamu."
Prinsip keadilan ini juga tercermin dalam ayat lain yang
memerintahkan kita untuk tegak dalam timbangan dan tidak mengurangi takaran.
Bayangkan kalau semua pelaku usaha menerapkan prinsip ini
dengan konsisten. Tidak ada yang curang dalam timbangan, tidak ada yang
menggunakan kualitas sampel yang bagus tapi jualannya jelek, tidak ada yang
mengurangi takaran.
Perbuatan tidak adil dalam produksi akan merusak sistem
ekonomi dan pada akhirnya menghancurkan keseluruhan sistem sosial. Makanya,
keadilan ini bukan cuma soal moral, tapi juga investasi jangka panjang untuk
keberlangsungan usaha dan kesejahteraan bersama.
3. Terikat pada Nilai Moral dan Teknikal Islami
Sejak dari kegiatan mengorganisir faktor produksi, proses
produksi, hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen, semuanya harus
mengikuti moralitas Islam.
Menurut M.M. Metwally, perbedaan perusahaan Islami dari yang
non-Islami bukan hanya pada tujuannya, tapi juga pada kebijakan ekonomi dan
strategi pasarnya.
Produksi barang dan jasa yang dapat merusak moralitas dan
menjauhkan manusia dari nilai-nilai religius tidak akan diperbolehkan. Misalnya saja produksi minuman keras, narkoba, atau konten-konten yang merusak akhlak.
Selain itu, Islam juga mengajarkan adanya skala prioritas dalam pemenuhan kebutuhan. Ada yang namanya dharuriyat atau kebutuhan primer yang sangat mendesak, hajjiyat kebutuhan sekunder, dan tahsiniyat kebutuhan pelengkap atau tersie).
Islam juga melarang sikap berlebihan yang berlaku di dalam semua
mata rantai produksi.
4. Memperhatikan Aspek Sosial-Kemasyarakatan
Kegiatan produksi harus menjaga nilai-nilai keseimbangan dan
harmoni dengan lingkungan sosial dan lingkungan hidup dalam masyarakat dengan
skala yang lebih luas. Ini artinya, produsen tidak boleh egois hanya memikirkan
keuntungannya sendiri.
Masyarakat berhak menikmati hasil produksi secara memadai
dan berkualitas. Jadi produksi bukan hanya menyangkut kepentingan para produsen
saja, tapi juga masyarakat secara keseluruhan.
Pemerataan manfaat dan keuntungan produksi bagi keseluruhan
masyarakat dan dilakukan dengan cara yang paling baik merupakan tujuan utama
kegiatan ekonomi.
Contoh nyatanya? Perusahaan tidak boleh membuang limbah
sembarangan yang mencemari lingkungan. Harga produk harus fair dan terjangkau
masyarakat.
Perusahaan juga harus berkontribusi pada pembangunan
masyarakat sekitar, misalnya lewat program CSR yang berkelanjutan.
5. Permasalahan Ekonomi Lebih dari Sekadar Kelangkaan
Di dalam Islam masalah ekonomi yang muncul bukan hanya dianggap karena kelangkaan
sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan manusia, tapi juga disebabkan oleh
kemalasan dan pengabaian optimalisasi segala anugerah Allah.
Dalam Al-Qur'an, sikap malas dan mengabaikan optimalisasi
sumber daya ini sering disebut sebagai kezaliman atau pengingkaran terhadap
nikmat Allah.
Hal itu membawa implikasi bahwa prinsip produksi bukan
sekadar efisiensi, tetapi secara luas adalah bagaimana mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya ekonomi dalam kerangka pengabdian manusia kepada
Tuhannya.
Kegiatan produksi dalam perspektif Islam bersifat
altruistik, artinya tidak hanya mengejar keuntungan maksimum semata. Produsen
harus mengejar tujuan yang lebih luas sebagaimana tujuan ajaran Islam, yaitu
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Faktor-Faktor Produksi dalam Islam
Nah, setelah paham prinsip-prinsipnya, sekarang kita bahas
apa saja sih yang dibutuhkan untuk berproduksi? Dalam ilmu ekonomi, ada empat
faktor produksi utama yaitu tanah, tenaga kerja, modal, dan kecakapan tata
laksana atau manajemen.
Tanah dan Sumber Daya Alam: Amanah dari Allah
Yang dimaksud dengan tanah di sini bukan cuma sebidang lahan untuk ditanami atau ditinggali. Istilah "tanah" mencakup segala sumber daya alam yang tersedia tanpa usaha manusia.
Contoh yang dimaksud "tanah" yaitu mulai dari kekayaan dalam
perut bumi, air untuk pengairan dan pelayaran, ikan dan mineral, hingga hutan
dan segala isinya.
Nah, yang unik dari faktor produksi tanah dalam Islam adalah konsep kepemilikannya. Tanah dan alam merupakan pemberian langsung dari Allah SWT.
Kita tinggal menerima dan memanfaatkannya saja. Berbeda dengan tenaga
kerja dan modal yang diperoleh dari usaha keras manusia.
Perihal ini terkandung dalam Surah Al-A'raf ayat 128:
"Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah, Dia akan mewariskannya kepada
siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba Nya."
Karena tanah diberikan Allah secara langsung, maka penggunaannya tidak boleh sembarangan. Harus sesuai dengan ketentuan yang Allah berikan.
Eksistensi tanah juga sangat kompleks karena memberikan manfaat dari
yang ada di dalam maupun di permukaan tanah.
Yang perlu diingat juga, penyediaan atau penawaran tanah
relatif terbatas. Tanah punya jumlah keseluruhan yang tertentu, tidak dapat
ditambah maupun dikurangi. Karena itu, pengelolaan dan pemanfaatannya harus
bijak dan berkelanjutan.
Hadits tentang Kepemilikan Bersama Sumber Daya
Ada hadits penting yang diriwayatkan Abu Dawud yang
menjelaskan tentang sumber daya yang bersifat kepemilikan bersama. Rasulullah
SAW bersabda: "Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput,
air, dan api."
Maksud dari hadits ini adalah bahwa sumber daya vital
seperti air yang mengalir dari sumber alam (bukan dari usaha pribadi seperti
sumur), padang rumput tempat merumput ternak, dan api untuk penerangan serta
memasak, tidak boleh dimonopoli oleh individu atau kelompok tertentu.
Dalam konteks modern, prinsip ini bisa diterapkan pada
sumber daya vital seperti air bersih, listrik, gas alam, dan sebagainya. Negara
punya tanggung jawab untuk memastikan semua warga bisa mengakses sumber daya
vital ini dengan harga yang terjangkau.
Tenaga Kerja: Lebih dari Sekadar Otot
Dalam ilmu ekonomi Islam, tenaga kerja bukan hanya soal
kekuatan fisik untuk mencangkul, menggergaji, atau kegiatan fisik lainnya.
Istilah yang lebih tepat adalah sumber daya manusia yang
mencakup kemampuan fisik dan mental, tenaga terdidik dan tidak terdidik,
terampil maupun tidak terampil.
Semua kemampuan manusiawi yang dapat disumbangkan untuk proses produksi barang dan jasa termasuk dalam kategori ini.
Mulai dari tukang
bangunan, petani, sampai CEO perusahaan, semuanya adalah tenaga kerja dengan
peran dan kontribusinya masing-masing.
Konsep Upah yang Adil dalam Islam
Nah, kalau sudah bicara tenaga kerja, kita harus bahas juga
soal upah. Islam punya dua prinsip utama dalam pengupahan yaitu keadilan dan
kelayakan.
1. Prinsip Keadilan, Al-Qur'an menegaskan seperti yang terkandung dalam Surah Al-Maidah ayat 8: "Berlakulah adil karena adil itu lebih dekat pada takwa."
Dalam hal upah keadilan berarti ada kejelasan
akad dan komitmen atas dasar kerelaan dari kedua belah pihak.
Sebelum pekerja dipekerjakan, harus jelas dulu bagaimana upah yang akan diterima, berapa besarnya, dan bagaimana tata cara pembayarannya.
Rasulullah SAW bersabda: "Berikanlah upah kepada pekerja
sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya terhadap apa yang
dikerjakan."
Hadits ini menegaskan pentingnya transparansi dan ketepatan
waktu pembayaran upah. Keterlambatan pembayaran upah dikategorikan sebagai
perbuatan zalim.
Bahkan Rasulullah SAW menyebutkan bahwa ada tiga golongan
yang Allah akan memusuhi mereka di hari kiamat, salah satunya adalah
"orang yang menyewa pekerja dan memanfaatkan tenaganya dengan penuh,
tetapi tidak membayar upahnya."
2. Prinsip Kelayakan, Kalau keadilan bicara tentang
kejelasan dan proporsionalitas, maka kelayakan berhubungan dengan besaran yang
diterima. Layak di sini bermakna cukup dari segi pangan, sandang, dan papan.
Rasulullah SAW bersabda: "Mereka (para budak dan
pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu;
sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya
makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa
yang dipakainya (sendiri)."
Dari hadits tersebut kita bisa tarik pelajaran bahwa hubungan antara majikan dengan pekerja bukan hanya sebatas hubungan formal.
Karyawan sudah dianggap sebagai keluarga majikan. Ini adalah konsep Islam yang
lebih dari 14 abad lalu sudah disabdakan Nabi Muhammad SAW.
Modal: Amanah yang Harus Dikembangkan
Modal atau capital meliputi semua jenis barang yang dibuat
untuk menunjang kegiatan produksi barang lain serta jasa. Termasuk di dalamnya
mesin-mesin, pabrik, jalan raya, pembangkit listrik, gudang, semua peralatannya
hingga materi untuk membeli semua itu.
Pembahasan tentang modal dalam ekonomi Islam terkait erat
dengan masalah kepemilikan harta. Islam menyerahkan masalah pengembangan modal
kepada individu sesuai pandangan yang layak, namun dengan batasan-batasan
tertentu.
Sistem Pengembangan Modal yang Halal
Modal dalam Islam harus dikembangkan dengan cara-cara yang
sesuai syariat. Ada beberapa larangan tegas yang harus dihindari:
Pertama, jalan perjudian. Cara ini dapat menimbulkan permusuhan dan merusak tatanan kehidupan masyarakat. Pengembangan modal lewat perjudian dilakukan tanpa usaha yang jelas dan hanya bersifat spekulasi semata.
Kedua, riba dalam bentuk apa pun. Pengambilan keuntungan dengan cara mengeksploitasi tenaga orang lain jelas diharamkan. Termasuk di dalamnya bunga bank konvensional untuk modal usaha.
Ketiga, penipuan (al-ghabn atau at-tadlis). Segala bentuk penipuan dalam kegiatan ekonomi dilarang keras. Transparansi dan kejujuran adalah prinsip yang tidak bisa ditawar.
Keempat, penimbunan. Mengumpulkan barang dengan tujuan menunggu waktu naiknya harga untuk dijual dengan harga tinggi sesuai kehendak adalah praktik yang diharamkan.
Bentuk Pengembangan Modal yang Islami
Dalam proses produksi, modal bisa dikembangkan melalui
berbagai bentuk transaksi (akad) yang sesuai syariah. Prinsip utamanya adalah
peningkatan dan pembagian hasil agar tercipta sirkulasi yang merata dalam
masyarakat.
1. Transaksi Jual-Beli
Seperti akad al-Ba'i (jual beli
biasa), as-Salam (jual beli dengan pembayaran di muka), dan al-Istishna (jual
beli dengan pesanan).
2. Transaksi Bagi-Hasil
Seperti akad al-Mudharabah
(kerjasama modal dan keahlian) dan as-Syirkah (kerjasama dengan kontribusi
modal dari semua pihak). Dalam akad ini, keuntungan dibagi sesuai kesepakatan
awal, sementara kerugian ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing.
3. Transaksi Jasa
Seperti akad al-Rahn (gadai),
al-Wadi'ah (titipan), dan akad jasa lainnya di mana ada pihak yang memberikan
jasa dan pihak lain yang membayar sesuai kesepakatan.
Manajemen: Faktor yang Menentukan
Faktor produksi keempat adalah kecakapan tata laksana atau
yang sering disebut entrepreneurship. Ini adalah faktor yang intangible (tidak
bisa diraba), tapi justru paling menentukan.
Seorang entrepreneur mengorganisir ketiga faktor produksi
lainnya agar dapat dicapai hasil yang terbaik. Dia juga yang menanggung risiko
untuk setiap jatuh bangun usahanya. Tidak pelak lagi, faktor ini adalah yang
terpenting di antara semua faktor produksi.
Memang tidak bisa dilihat, tapi semua orang tahu dan
merasakan bahwa entrepreneurship atau managerial skill ini sangat penting
perannya dalam menentukan hasil produksi.
Tanpa manajemen yang baik, tanah yang subur, pekerja yang
terampil, dan modal yang besar sekalipun tidak akan menghasilkan apa-apa.
Konsep Hak Milik dalam Islam: Amanah, Bukan
Kepemilikan Mutlak
Sebelum kita masuk ke pembahasan distribusi, penting banget
untuk memahami dulu bagaimana Islam memandang konsep kepemilikan harta. Karena
cara pandang ini akan sangat mempengaruhi bagaimana kita berproduksi dan
mendistribusikan hasil produksi.
Harta adalah Amanah
Al-Qur'an memandang harta dengan pandangan yang realistis.
Dinyatakan bahwa harta adalah perhiasan kehidupan dunia dan kecintaan terhadap
harta adalah tabiat manusia.
Ini dijelaskan dalam Surah Al-Kahfi ayat 46: "Harta dan
anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, sedangkan amal kebajikan yang abadi
pahalanya adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk
menjadi harapan"
Islam tidak melarang kita untuk mencintai harta dan berusaha
mendapatkannya. Yang dilarang adalah ketika cinta pada harta membuat kita lupa
kepada Allah dan mengabaikan kewajiban sosial kita.
Yang harus diingat, hak milik dalam Islam adalah amanah.
Pemilik yang sebenarnya adalah Allah SWT sendiri. Hak manusia untuk
memanfaatkan barang-barang di dunia adalah dalam kedudukannya sebagai khalifah
dan pengemban amanah Allah.
Allah menegaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 284: "Milik
Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi."
Tiga Sebab Pemilikan
Menurut Muhammad al-Mubarak, ada tiga sebab seseorang bisa
memiliki harta:
Pertama, pemilikan dari hasil usaha individual.
Ini
adalah cara yang paling dibenarkan syariat, seperti hasil bertani, berdagang,
berburu, bekerja, dan usaha halal lainnya.
Kedua, pemilikan tanpa diusahakan yang ditetapkan syara'.
Seperti hak atas nafkah dari keluarga, warisan dari orang tua atau kerabat, dan
zakat bagi yang berhak menerimanya.
Ketiga, pertukaran pemilikan.
Seperti menukarkan uang
dengan barang, menjual tanah untuk membeli rumah, dan transaksi jual-beli
lainnya.
Kategori Kepemilikan: Umum dan Khusus
Hak milik dalam Islam dibagi menjadi dua kategori besar yakni hak
milik umum dan hak milik khusus.
Hak Milik Umum adalah pemilikan oleh umum dan
manfaatnya untuk seluruh individu. Pemanfaatannya diatur oleh negara sebagai
penanggung jawab distribusi dan pemanfaatannya. Pengelolaan bisa dilakukan
pihak swasta, tapi harus dengan izin negara.
Contoh hak milik umum adalah fasilitas publik seperti jalan,
air sungai dan laut, bahan tambang, dan sumber daya vital lainnya. Dalam
konteks hadits Rasulullah SAW: "Semua orang berserikat dalam tiga hal,
yaitu dalam hal (pemanfaatan atau pemilikan) rumput, air, dan api."
Hadits ini mengandung arti bahwa sumber daya vital tidak
boleh dimonopoli oleh seseorang atau sekelompok orang. Setiap orang berhak dan
dibenarkan untuk memiliki akses terhadap barang-barang ini.
Hak Milik Khusus adalah pemilikan atas sesuatu oleh
seseorang atau sekelompok orang secara bersama. Ini meliputi hak milik
individual dan kolektif. Dalam hak milik khusus terdapat aturan kemaslahatan
umum dan aturan pemanfaatan yang baik.
Islam mengakui hak milik individual sebagai salah satu asas penting. Namun, dalam sistem ekonomi Islam, perolehan dan pemanfaatan hak milik harus dengan jalan yang ma'ruf (baik).
Di dalam harta itu terdapat hak-hak
kemasyarakatan yang harus ditunaikan, seperti zakat, infak, dan sedekah.
Al-Qur'an menegaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 188:
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang batil."
Distribusi: Memastikan Keadilan Ekonomi untuk Semua
Setelah produksi menghasilkan barang dan jasa, langkah
selanjutnya adalah distribusi. Nah, di sinilah letak krusialnya. Sebagus apa
pun produksinya, kalau distribusinya tidak adil, tetap akan terjadi ketimpangan
dan kemiskinan.
Apa Itu Distribusi?
Distribusi adalah proses penyampaian barang atau jasa dari
produsen ke konsumen dan para pemakai. Saluran distribusi adalah jalur yang
menghubungkan produsen dengan konsumen, yang di dalamnya melibatkan berbagai
perantara pemasaran.
Dalam Islam, distribusi tidak hanya bicara soal mekanisme
penyaluran barang semata. Lebih dari itu, distribusi mencakup bagaimana
pendapatan dan kekayaan didistribusikan secara adil di masyarakat sehingga
tidak terjadi penumpukan kekayaan pada segelintir orang.
Konsep Dasar Distribusi dalam Islam
Pada dasarnya, distribusi pendapatan dan kekayaan dalam
Islam dilandasi oleh pertimbangan maslahat dan batas waktu. Distribusi
pendapatan didasarkan pada produksi, pertukaran (barter), dan pertimbangan
pasar. Sementara redistribusi berlandaskan pada pertimbangan keagamaan, moral,
keluarga, dan sosial.
Melalui analisis terhadap hukum Islam, kita bisa memahami
bahwa sumber daya alam yang merupakan sumber kekayaan sesungguhnya milik Allah.
Namun kepemilikan Tuhan ini diamanahkan kepada manusia dengan mekanisme kerja.
Pada kenyataannya, ada sumber daya yang sudah dimiliki manusia dan ada yang
belum bertuan.
Tujuh Cara Redistribusi dalam Islam
Islam mengenal tujuh cara utama untuk redistribusi kekayaan
dan pendapatan. Mari kita bahas satu per satu.
1. Zakat
Ini adalah instrumen redistribusi yang paling fundamental. Zakat diwajibkan hanya atas orang kaya yang hartanya sudah mencapai nisab.
Target redistribusinya meliputi mereka yang memerlukan materi antara lain fakir, miskin, orang yang berhutang, otoritas syariah Islam atau para pejuang di
jalan Allah, dan pegawai pada lembaga zakat.
Zakat bukan sekadar kewajiban ritual, tapi instrumen ekonomi
yang sangat powerful untuk mengurangi kesenjangan. Bayangkan kalau semua orang
kaya mengeluarkan zakat dengan benar, berapa banyak orang miskin yang bisa
tertolong?
2. Sedekah
Ini adalah kegiatan filantropi yang
sangat dianjurkan Islam. Rasulullah SAW bersabda: "Harta tidak akan
berkurang karena sedekah." Fungsi sedekah juga dianggap sebagai tindak
pencegahan terhadap instabilitas dan bencana.
Berbeda dengan zakat yang wajib dan punya aturan ketat
tentang besaran dan penerimanya, sedekah bersifat sukarela dan bisa diberikan
kapan saja kepada siapa saja yang membutuhkan.
3. Belanja Wajib
Ini adalah belanja halal yang wajib
dikeluarkan, baik karena perkawinan seperti nafkah untuk istri maupun karena
kebutuhan seperti nafkah untuk keluarga atau kerabat fakir yang menjadi
tanggungan.
4. Kafarat
Ini adalah denda atau tebusan atas
kesalahan tertentu. Bentuknya bisa berupa pembebasan hamba sahaya, memberikan
makanan bagi orang fakir, atau pemberian pakaian yang layak. Meskipun konteks
perbudakan sudah tidak relevan di zaman sekarang, prinsip kafarat sebagai
bentuk pertanggungjawaban atas kesalahan tetap penting.
5. Nadzar
Yaitu ketika seseorang mewajibkan dirinya
untuk melakukan perbuatan mubah karena mengagungkan Allah, misalnya dengan
nadzar untuk bersedekah kalau hajatnya terkabul.
6. Daging Sembelihan
Khususnya pada hari Idul Adha.
Daging kurban harus dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan, bukan
dikonsumsi sendiri semua. Ini adalah bentuk berbagi kebahagiaan dengan sesama.
7. Insentif Negara
Diberikan pemerintah ketika
distribusi pendapatan dan kekayaan tidak adil dan ada disparitas yang sangat
besar antara yang kaya dan miskin. Negara punya peran aktif untuk memastikan
tidak ada kelompok masyarakat yang tertinggal.
Empat Tujuan Utama Distribusi dalam Islam
Sistem distribusi dalam ekonomi Islam punya tujuan yang
sangat komprehensif, mencakup berbagai bidang kehidupan. Secara umum, tujuan
ini bisa dikelompokkan menjadi empat: dakwah, pendidikan, sosial, dan ekonomi.
1. Tujuan Dakwah
Yang dimaksud dakwah di sini adalah dakwah kepada Islam dan menyatukan hati kepadanya. Contoh paling jelas adalah bagian muallaf dalam zakat.
Muallaf bisa jadi orang kafir yang diharapkan keislamannya atau dicegah
keburukannya, atau orang Islam yang diharapkan kuat keislamannya.
Sistem distribusi dalam ghanimah (harta rampasan perang) dan fa'i juga memiliki tujuan dakwah yang jelas.
Dengan memberikan sebagian harta
kepada kelompok tertentu, Islam memperlihatkan keadilan dan kemurahan hatinya
yang bisa menarik orang untuk masuk Islam atau memperkuat iman mereka.
Pemberian zakat kepada muallaf juga punya dampak dakwah terhadap orang yang menunaikan zakat itu sendiri.
Allah berfirman dalam Surah
Ali Imran ayat 140 tentang hikmah di balik ujian dan masa-masa sulit, salah
satunya adalah agar Allah membedakan orang-orang yang beriman dengan yang
tidak.
2. Tujuan Pendidikan
Di antara tujuan pendidikan dalam distribusi adalah seperti
yang disebutkan dalam Surah At-Taubah ayat 103: "Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka."
Zakat bukan hanya soal transfer uang dari yang kaya ke yang miskin. Ada proses pembersihan (tathir) dan penyucian (tazkiyah) yang terjadi.
Pembersihan dari kekikiran dan cinta berlebihan pada harta, serta penyucian
dengan menumbuhkan sifat-sifat kebaikan dalam hati.
Secara umum, distribusi dalam perspektif ekonomi Islam dapat mewujudkan beberapa tujuan pendidikan penting.
Yang pertama adalah pendidikan
terhadap akhlak terpuji seperti suka memberi, berderma, dan mengutamakan orang
lain. Yang kedua adalah mensucikan diri dari akhlak tercela seperti kikir,
loba, dan egois.
Dengan mendistribusikan sebagian hartanya, seseorang belajar
untuk tidak terlalu cinta dunia. Dia belajar bahwa ada yang lebih penting dari
sekadar menumpuk harta. Dia juga belajar empati dengan merasakan kebahagiaan
ketika bisa membantu orang lain.
3. Tujuan Sosial
Tujuan sosial terpenting dalam distribusi meliputi beberapa
hal fundamental. Yang pertama adalah memenuhi kebutuhan kelompok yang
membutuhkan dan menghidupkan prinsip solidaritas dalam masyarakat Muslim.
Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 273:
"(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan
Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi."
Ayat ini mengingatkan kita bahwa ada orang-orang yang karena
kondisi tertentu tidak bisa bekerja atau berusaha. Mungkin karena sakit, tua
renta, atau memang tidak punya keterampilan. Mereka ini perlu dibantu oleh
masyarakat yang mampu.
Yang kedua adalah menguatkan ikatan cinta dan kasih sayang di antara individu dan kelompok dalam masyarakat.
Ketika yang kaya berbagi
dengan yang miskin, akan tercipta rasa saling peduli dan saling menyayangi.
Yang miskin merasa diperhatikan, sementara yang kaya merasa berguna bagi
sesamanya.
Yang ketiga adalah mengikis sebab-sebab kebencian dalam masyarakat. Distribusi yang tidak adil dalam pendapatan dan kekayaan akan berdampak pada munculnya kelompok dan daerah miskin.
Ini akan meningkatkan
tingkat kriminalitas yang berdampak pada ketidakamanan dan ketidaktentraman
masyarakat.
Dan yang keempat adalah mewujudkan keadilan dalam distribusi
yang mencakup pendistribusian sumber kekayaan, pendistribusian pemasukan di
antara unsur-unsur produksi pendistribusian di antara kelompok masyarakat yang
ada, dan keadilan pendistribusian antara generasi sekarang dan generasi yang
akan datang.
4. Tujuan Ekonomi
Distribusi dalam ekonomi Islam juga punya tujuan ekonomi yang sangat penting. Yang pertama adalah pengembangan harta dan pembersihannya.
Ketika pemilik harta menginfakkan sebagian hartanya, baik infak wajib maupun
sunnah, ini akan mendorongnya untuk menginvestasikan hartanya sehingga tidak
habis karena zakat.
Bayangkan kalau kamu punya uang 100 juta dan kamu diamkan
saja di rumah. Setiap tahun kamu harus keluarkan zakat 2,5 juta. Dalam 40
tahun, uangmu akan habis. Tapi kalau kamu investasikan dalam usaha yang
produktif, bukan hanya zakatnya bisa dibayar, tapi hartamu juga bertambah.
Yang kedua adalah memberdayakan sumber daya manusia yang menganggur. Dengan terpenuhinya kebutuhan harta atau persiapan yang lazim, mereka bisa melakukan kegiatan ekonomi.
Sistem distribusi dalam ekonomi Islam
juga menghilangkan faktor-faktor yang menghambat seseorang dari andil dalam
kegiatan ekonomi, seperti utang yang membebani atau kondisi perbudakan.
Yang ketiga adalah berkontribusi dalam merealisasikan
kesejahteraan ekonomi. Tingkat kesejahteraan ekonomi tidak hanya berkaitan
dengan bentuk pemasukan saja, tapi juga berkaitan dengan cara
pendistribusiannya di antara individu masyarakat.
Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 265: "Dan
perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan
Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di
dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan
buahnya dua kali lipat."
Warisan: Instrumen Distribusi yang Adil
Salah satu instrumen penting dalam distribusi kekayaan
adalah sistem warisan. Ketika seseorang meninggal, dia tidak lagi memiliki hak
apa-apa atas badan dan hartanya. Meskipun harta tersebut miliknya, ketika mati
dia tidak berhak memberikan kepada siapa saja sesuka hatinya.
Wasiat menyangkut harta kepada selain ahli waris hanya
diperbolehkan paling banyak sepertiga bagian saja. Dengan cara ini akan
berlangsung peredaran harta milik mayit kepada ahli warisnya secara otomatis.
Allah mensyariatkan dalam Surah An-Nisa ayat 11 dengan
sangat rinci tentang pembagian warisan. Bagian anak laki-laki, anak perempuan,
orang tua, dan kerabat lainnya sudah ditentukan dengan jelas. Ini adalah hukum
yang bersifat tauqifi, yaitu ketentuan langsung dari Allah yang tidak bisa
diubah-ubah.
Warisan Sebagai Alat Penimbang Ekonomi
Hukum waris merupakan alat penimbang yang sangat kuat dan
efektif untuk mencegah pengumpulan kekayaan di kalangan tertentu dan
pengembangannya dalam kelompok-kelompok besar dalam masyarakat.
Tokoh-tokoh ekonomi seperti Keynes, Taussig, dan Irving
Fisher menyetujui bahwa pembagian warisan yang tidak merata merupakan penyebab
utama ketidakadilan dalam masyarakat. Menurut Taussig, warisan mempunyai dampak
yang sangat besar dalam masyarakat.
Kalau tidak ada sistem warisan yang adil, harta akan terus
menumpuk pada keluarga-keluarga tertentu dari generasi ke generasi. Yang kaya
akan terus kaya karena warisan, sementara yang miskin akan terus miskin karena
tidak punya warisan apa-apa.
Sistem waris Islam membagi harta ke banyak ahli waris dengan porsi yang sudah ditentukan. Anak laki-laki, anak perempuan, saudara, ibu, bapak, suami, istri, dan kerabat lainnya semuanya punya bagian.
Jika seseorang
tidak mempunyai keluarga dekat sama sekali, maka harta bendanya boleh diambil alih
oleh negara.
Dengan demikian, waris bertujuan untuk menyebarluaskan
pembagian kekayaan dan mencegah penimbunan harta dalam bentuk apa pun. Generasi
demi generasi, harta akan terus terdistribusi ke lebih banyak orang.
Larangan Penimbunan: Menjaga Kelancaran Distribusi
Islam melarang penimbunan atau hal-hal yang menghambat
pendistribusian barang sampai ke konsumen. Menimbun adalah membeli barang dalam
jumlah banyak kemudian menyimpannya dengan maksud untuk menjualnya dengan harga
tinggi.
Penimbunan dilarang dalam Islam agar supaya harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang tertentu.
Rasulullah SAW bersabda:
"Siapa saja yang melakukan penimbunan untuk mendapatkan harga yang paling
tinggi dengan tujuan mengecoh orang Islam, maka termasuk perbuatan yang
salah."
Hadits ini mengisyaratkan bahwa penimbunan adalah perbuatan yang menyimpang dari peraturan jual-beli atau perdagangan dalam sistem ekonomi Islam.
Meskipun hadits ini tidak menentukan jenis barang yang dilarang
ditimbun, hadits lain yang segaris menyatakan bahwa barang yang terutama
dilarang ditimbun adalah makanan.
Kapan Penimbunan Diharamkan?
Para ulama fikih berpendapat bahwa penimbunan diharamkan
apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
Pertama, barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya sendiri. Kalau kamu punya beras untuk konsumsi keluargamu sendiri, itu bukan penimbunan.
Tapi kalau kamu beli beras berkilo-kilo ton padahal kebutuhanmu tidak sebanyak
itu, dengan tujuan menunggu harga naik, itu baru namanya penimbunan.
Kedua, barang yang ditimbun dalam usaha menunggu saat naiknya harga. Ini yang jadi masalah utama.
Penimbun sengaja menahan barang
dari pasar agar supply berkurang dan harga naik. Ini merugikan konsumen dan
melanggar prinsip keadilan dalam Islam.
Ketiga, penimbunan dilakukan di saat masyarakat membutuhkan.
Misalnya menimbun bahan bakar minyak, gas elpiji, atau sembako saat masyarakat
sedang membutuhkannya. Ini sangat merugikan orang banyak.
Adapun mengenai waktu penimbunan, tidak terbatas. Baik waktu
pendek maupun panjang, jika dapat menimbulkan dampak negatif atau tiga syarat
di atas terpenuhi, maka haram hukumnya.
Rasulullah bersabda dalam hadits shahih: "Barang siapa
menimbun makanan selama 40 malam maka ia terbebas dari rahmat Allah, dan Allah
bebas darinya. Barang siapa yang keluar rumah pagi-pagi dan dari kalangan
mereka ada yang dalam keadaan lapar, maka tanggungan Allah juga lepas dari
mereka."
Pada dasarnya Nabi melarang menimbun barang pangan selama 40
hari karena biasanya pasar akan mengalami fluktuasi jika sampai 40 hari barang
tidak ada di pasar padahal masyarakat sangat membutuhkannya.
Bila penimbunan dilakukan beberapa hari saja sebagai proses
pendistribusian barang dari produsen ke konsumen, maka belum dianggap sebagai
sesuatu yang membahayakan. Namun bila bertujuan menunggu saat naik harga
sekalipun hanya satu hari, maka termasuk penimbunan yang membahayakan dan tentu
saja diharamkan.
Konsumsi dalam Ekonomi Islam: Bukan Sekadar Pemenuhan
Keinginan
Setelah bahas panjang lebar soal produksi dan distribusi,
sekarang kita masuk ke pembahasan konsumsi. Konsumsi adalah kegiatan
menghabiskan utility atau nilai guna barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan.
Prinsip Konsumsi yang Berbeda
Menurut Samuelson, konsumsi meliputi barang tahan lama dan tidak tahan lama. Barang konsumsi menurut kebutuhannya dibagi menjadi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.
Akan tetapi di dalam Islam, ada tambahan kriteria penting yakni barang konsumsi harus bersifat at-tayyibat atau baik dan halal.
Prinsip konsumsi dalam Islam meliputi keadilan, kebersihan, kesederhanaan, kemurahan hati, dan moralitas.
Monzer Kahf mengembangkan Teori
Konsumsi Islam dengan asumsi bahwa Islam dilaksanakan oleh masyarakat, zakat
hukumnya wajib, tidak ada riba, mudharabah ada dalam perekonomian, dan pelaku
ekonomi berperilaku memaksimalkan.
Ada konsep Islam menarik yang dijelaskan Hadits Rasulullah SAW yang maknanya: "Yang kamu miliki adalah apa yang telah kamu makan dan apa yang kamu infakkan."
Artinya, harta yang benar-benar jadi milikmu
adalah yang sudah kamu konsumsi atau yang sudah kamu sedekahkan. Sisanya? Bisa
jadi besok hilang atau jadi milik orang lain.
Empat Prinsip Utama Konsumsi Islam
1. Hidup Hemat dan Tidak Bermewah-mewah
Prinsip ini bermakna bahwa tindakan ekonomi diperuntukkan
hanya sekadar pemenuhan kebutuhan hidup, bukan pemuasan keinginan yang tidak terbatas. Islam mengajarkan untuk hidup sederhana, tidak
boros, tapi juga tidak kikir.
2. Implementasi Zakat
Zakat bukan hanya kewajiban ritual, tapi juga instrumen
ekonomi. Selain zakat, ada juga instrumen sejenis yang bersifat sukarela
seperti infak, sedekah, wakaf, dan hadiah. Semua ini bertujuan untuk
redistribusi kekayaan.
3. Penghapusan Riba
Sistem bagi hasil (profit-loss sharing) dengan instrumen
mudharabah dan musyarakah menjadi pengganti sistem kredit dengan bunga. Ini
memastikan keadilan dalam transaksi keuangan.
4. Menjalankan Usaha yang Halal
Mulai dari bahan baku, proses produksi, manajemen, output produksi, hingga proses distribusi dan konsumsi harus dalam kerangka halal. Menjauhi maisir (perjudian) dan gharar (ketidakjelasan) adalah kewajiban.
Tiga Karakteristik Perilaku Ekonomi Berdasarkan Keimanan
Pada tingkatan praktis, perilaku ekonomi (economic behavior)
sangat ditentukan oleh tingkat keyakinan atau keimanan seseorang. Ada tiga
karakteristik yang bisa kita identifikasi:
Keimanan Tingkat Baik
Motif berkonsumsi atau
berproduksi didominasi oleh tiga motif utama yaitu mashlahah (kemaslahatan),
kebutuhan, dan kewajiban. Orang dengan keimanan baik akan konsumsi karena
butuh, bukan karena gengsi atau ikut-ikutan.
Keimanan Tingkat Sedang
Motifnya tidak hanya
didominasi tiga hal di atas, tapi juga dipengaruhi secara signifikan oleh ego,
rasionalisme (materialisme), dan keinginan-keinginan individualistis. Masih ada
pertimbangan agama, tapi sudah mulai tercampur dengan keinginan pribadi.
Keimanan Tingkat Buruk
Motif berekonomi didominasi
oleh nilai-nilai individualistis (selfishness): ego, keinginan, dan
rasionalisme semata. Tidak ada lagi pertimbangan agama dalam aktivitas
ekonominya.
Variabel Moral dalam Berkonsumsi
Yusuf Qardhawi menyebutkan beberapa variabel moral yang
harus diperhatikan dalam berkonsumsi. Pertama, konsumsi hanya pada
barang-barang yang baik dan halal. Jangan sampai uang kita dipakai untuk
membeli barang atau jasa yang haram.
Kedua, berhemat dan tidak bermewah-mewah. Allah tidak suka
orang yang berlebihan dalam berkonsumsi. Hidup sederhana adalah anjuran yang
tegas dalam Islam.
Ketiga, menjauhi hutang. Berhutang untuk konsumsi yang tidak
perlu adalah perbuatan yang tidak bijak. Lebih baik hidup sesuai kemampuan
daripada bergaya dengan hutang.
Keempat, menjauhi kebakhilan dan kekikiran. Meskipun
dianjurkan hidup hemat, bukan berarti kita jadi kikir dan tidak mau berbagi
dengan orang lain.
Landasan Al-Qur'an tentang Konsumsi
Dalam Al-Qur'an, ajaran tentang konsumsi bisa diambil dari kata "kulu" dan "isyrabu" yang disebutkan sebanyak 21 kali.
Sedangkan "kulu wasyrabu" (makan dan minumlah) sebanyak enam kali.
Jumlah ayat mengenai ajaran konsumsi, belum termasuk derivasi dari akar kata
akala dan syaraba, mencapai puluhan ayat.
Prinsip Halal dan Baik
Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 168: "Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan."
Dalam Surah An-Nahl ayat 114: "Maka makanlah yang halal
lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah
nikmat Allah."
Pada kedua ayat ini secara tegas terdapat beberapa prinsip penting. Prinsip halal dan baik, prinsip ketiadaan mengikuti hawa nafsu, prinsip syukur, dan prinsip tauhid.
Dengan prinsip-prinsip ini, pola konsumsi seseorang dan masyarakat diarahkan kepada kebutuhan dan kewajiban berdasarkan standar yang jelas.
Larangan Boros dan Kikir
Allah berfirman dalam Surah Al-Isra ayat 26-28: "Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghamburhamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan."
Dalam Surah Al-A'raf ayat 31-32: "Hai anak Adam,
pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah,
dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan."
Kedua ayat di atas memberikan prinsip penting: menjauhkan
diri dari kekikiran baik pada diri sendiri maupun terhadap orang lain, dan
proporsionalitas dalam melakukan aktivitas konsumsi. Ada juga prinsip
pertanggungjawaban dalam setiap aktivitas konsumsi.
Bumi dan Isinya untuk Kesejahteraan Manusia
Allah berfirman dalam Surah Al-Mulk ayat 15: "Dialah
yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya
dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya."
Dalam Surah Lukman ayat 20: "Tidakkah kamu perhatikan
sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit
dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan
batin."
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa Allah sudah menyediakan
segala yang kita butuhkan di bumi ini. Tugas kita adalah memanfaatkannya dengan
bijak, tidak berlebihan, dan tetap bersyukur.
Membangun Sistem Ekonomi yang Adil dan
Berkelanjutan
Setelah membaca panjang lebar tentang prinsip produksi,
distribusi, dan konsumsi dalam Islam, semoga kamu mendapat gambaran jelas
tentang bagaimana sistem ekonomi Islam bekerja secara komprehensif.
Yang perlu digarisbawahi, ekonomi Islam bukan hanya bicara
tentang pemuasan materi yang bersifat fisik. Lebih dari itu, ekonomi Islam
berbicara luas tentang pemuasan yang berkaitan dengan posisi manusia sebagai
hamba Allah SWT.
Dalam Produksi
Sebagai produsen Muslim, kita harus mengoptimalkan seluruh sumber daya yang ada baik itu binatang ternak, pegunungan, tanah perkebunan, lautan dengan kekayaannya sebagai media untuk kehidupan di dunia ini.
Tapi perlu di ingat, bahwa semua itu adalah fadlun minallah atau karunia dari Allah yang harus kita syukuri.
Produsen Muslim tidak boleh tergoda oleh kebiasaan dan
perilaku ekonomi yang bersifat dosa, memakan harta terlarang, menyebarkan
permusuhan, berlawanan dengan sunnatullah, dan menimbulkan kerusakan di muka
bumi.
Dalam Distribusi
Kita diarahkan untuk melakukan kebaikan kepada saudara kita, kaum miskin, dan kaum kerabat dengan cara yang baik tanpa kikir dan boros.
Sistem distribusi Islam dengan instrumen zakat, sedekah, warisan, dan larangan
penimbunan memastikan harta beredar dan tidak menumpuk pada segelintir orang.
Dalam Konsumsi
Harta merupakan pokok kehidupan yang merupakan karunia
Allah. Islam memandang segala yang ada di atas bumi adalah milik Allah SWT,
sehingga apa yang dimiliki manusia hanyalah amanah yang harus
dipertanggungjawabkan.
Pola konsumsi seseorang dan masyarakat diarahkan kepada kebutuhan dan kewajiban yang sepadan dengan pola kehidupan yang sesederhana mungkin.
Parameter kepuasan bukan hanya terbatas pada benda-benda konkret atau materi, akan tapi juga tergantung pada amal saleh yang manusia perbuat.
Dengan memahami dan menerapkan ketiga prinsip ini dalam
kehidupan sehari-hari, kita bisa membangun sistem ekonomi yang tidak hanya
menguntungkan secara finansial, tapi juga membawa berkah dan kemaslahatan untuk
semua.
Ingat, dalam ekonomi Islam, kebahagiaan yang dituju
bukan hanya kebahagiaan dunia, tapi juga kebahagiaan akhirat. Setiap aktivitas
ekonomi kita lakukan baik produksi, distribusi, maupun konsumsi harus diarahkan untuk mencapai
tujuan mulia ini.




Posting Komentar