Pernahkah kamu merasa bingung bagaimana caranya berbisnis yang benar menurut Islam? Atau mungkin kamu penasaran, apa sih bedanya bisnis Islam dengan bisnis konvensional?
Di era modern seperti sekarang, semakin banyak orang yang
ingin menjalankan usahanya tidak hanya untuk mengejar profit semata, tapi juga mengejar
ridho dan keberkahan dari sang pencipta.
Nah, artikel ini kita akan mengupas tuntas tentang prinsip
bisnis dalam Islam dan bagaimana sih konsep kepemilikan harta menurut ajaran
Islam.
Yuk, kita bahas satu per satu agar kita bisa memahami esensi bisnis yang tidak hanya menguntungkan di dunia, tapi juga bernilai ibadah di hadapan Allah SWT.
Memahami Esensi Bisnis dalam Perspektif Islam
Kalau kita bicara soal bisnis, apa sih yang pertama kali
terlintas di pikiran? Kebanyakan orang pasti langsung berpikir tentang
untung-rugi, strategi marketing, atau gimana caranya dapetin customer
sebanyak-banyaknya.
Nah, ternyata di dalam perspektif agama Islam, yang dimaksud
dengan berbisnis itu jauh lebih dalam. Tidak hanya semata-mata tentang urusan
perut maupun dompet.
Secara umum, bisnis adalah aktivitas yang dilakukan manusia
untuk memperoleh keuntungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara
mengelola sumber daya ekonomi secara efektif dan efisien.
Menurut Straub dan Attner, bisnis adalah organisasi yang
menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang-barang serta jasa yang
diinginkan konsumen untuk memperoleh profit.
Sementara itu, Richard D. Steade dan kawan-kawan
mendefinisikan bisnis sebagai kegiatan industri dan komersial yang menyediakan
barang atau jasa untuk meningkatkan kualitas hidup.
Yah dapat kita simpulkan pada intinya bisnis merupakan upaya
mengombinasikan berbagai sumber daya seperti manusia, teknologi, dan keuangan
untuk mendapatkan keuntungan.
Apa Yang Membuat Bisnis Islam Berbeda?
Kenapa dalam Islam artian bisnis lebih dalam? Hal ini karena
Islam memandang bisnis dengan kacamata yang unik. Aktivitas bisnis bukan cuma
soal cuan, tapi juga ibadah kepada Allah SWT.
Inilah perbedaan mendasar yang membuat bisnis Islam stand
out dari sistem bisnis lainnya. Bayangkan, setiap transaksi jual-beli kamu bisa
jadi ladang pahala kalau dilakukan dengan niat dan cara yang benar.
Dalam surah An-Nisaa ayat 29, Allah berfirman: "Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu."
Ayat ini menegaskan bahwa bisnis atau perniagaan adalah
salah satu cara halal untuk mendapatkan rezeki, asalkan dilakukan dengan
prinsip kerelaan dan keadilan.
Jadi, berbisnis dalam Islam, bukan hanya hasil akhirnya yang
penting, tapi juga prosesnya harus bersih dari unsur-unsur yang diharamkan
seperti riba, maysir atau perjudian, gharar atau ketidakjelasan, dan praktik curang
lainnya.
Tujuan Mulia di Balik Bisnis Islam
Sekarang kita masuk ke bagian yang lebih menarik apa sih
sebenarnya tujuan berbisnis menurut Islam? Karena kebanyakan yang orang mikir
tujuan bisnis ya cuma satu yaitu dapet untung sebanyak-banyaknya. Tapi Islam
punya pandangan yang lebih holistik dan bermakna.
1. Mengharap Ridha Allah SWT
Ini adalah tujuan utama yang harus jadi fondasi setiap
aktivitas bisnis dalam ajaran Islam. Setiap transaksi, setiap keputusan bisnis,
semuanya harus dimulai dengan niat untuk mendapatkan keridhaan Allah.
Kenapa ini penting? Karena dengan niat ini, bisnis kamu
bukan lagi sekadar aktivitas ekonomi biasa, tapi berubah jadi ibadah. Bayangkan
energi yang akan kamu rasakan ketika menjalankan bisnis dengan kesadaran bahwa
ini adalah bentuk ibadah kepada Allah.
Setiap pelayanan terbaik kepada pelanggan adalah dakwah,
setiap produk berkualitas yang kamu jual adalah amanah, dan setiap keuntungan
yang didapat adalah berkah. Inilah yang membuat pelaku bisnis Islam punya
motivasi berbeda yang lebih powerful dibanding sekadar mengejar materi.
2. Target Keuntungan yang Seimbang
Islam tidak anti keuntungan, kok. Justru Islam mendorong
umatnya untuk berusaha mendapatkan rezeki yang halal dan berkah. Yang
membedakan adalah konsep keuntungan dalam Islam tidak hanya berdimensi materi atau qimah madiyah, tapi juga mencakup tiga dimensi lainnya.
Keuntungan Non-Materi
Ini termasuk terciptanya suasana persaudaraan dalam lingkungan kerja, kepedulian sosial kepada masyarakat sekitar, dan manfaat kemanusiaan atau qimah insaniyah lainnya.
Misalnya, kamu membuka lapangan kerja bagi tetangga yang menganggur, atau
menyisihkan sebagian keuntungan untuk anak yatim dan fakir miskin.
Nilai Akhlak (Qimah Khuluqiyah)
Dalam bisnis Islam, akhlak mulia bukan hanya slogan kosong. Kejujuran, amanah, adil dalam timbangan, dan tidak menipu adalah implementasi nyata dari nilai-nilai ini.
Hasilnya? Tercipta hubungan bisnis yang bukan sekadar transaksional, tapi penuh
kehangatan persaudaraan.
Dimensi Spiritual (Qimah Ruhiyah)
Setiap aktivitas bisnis dijadikan media untuk mendekatkan diri kepada Allah. Marketing bukan cuma strategi jualan, tapi juga dakwah.
Pelayanan kepada customer adalah bentuk
ibadah. Dengan perspektif ini, pekerjaan jadi lebih bermakna dan penuh kepuasan
batin.
Mengenai keuntungan materi tentu saja, profit tetap penting!
Islam memperbolehkan, bahkan mendorong umatnya untuk mendapatkan keuntungan
maksimal, selama caranya halal dan tidak mengandung unsur-unsur haram seperti
penipuan, riba, atau eksploitasi.
3. Pertumbuhan dan Keberlangsungan Usaha
Bisnis yang baik harus sustainable, alias bisa bertahan lama
dan terus berkembang. Dalam Islam, pertumbuhan bisnis dilihat dari dua
perspektif utama yaitu di tinjau dari faktor internal dan eksternal.
Dari sisi internal, pertumbuhan berarti semua orang yang
terlibat dalam bisnis tersebut semakin mendekat kepada Allah.
Hubungan antar karyawan terjalin dengan baik, tidak ada
persaingan tidak sehat, tidak saling menjatuhkan, tapi justru saling mendukung
layaknya satu keluarga. Ini bukan sekadar team work, tapi ukhuwah Islamiyah
yang sesungguhnya.
Dari sisi eksternal, bisnis yang berkembang adalah yang
memberikan manfaat luas kepada masyarakat.
Membuka lapangan kerja, salurkan dana Corporate Social
Responsibility untuk program-program sosial, dan bantu orang-orang yang kurang
beruntung. Semakin banyak manfaat yang kamu berikan, semakin berkah pula
bisnismu.
4. Keberkahan dalam Setiap Langkah
Nah, ini dia yang sering dilupakan keberkahan. Dalam bahasa
Arab, berkah atau barokah artinya ziyadatul khair atau bertambahnya kebaikan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berkah adalah karunia Tuhan yang
mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia.
Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan bahwa berkah punya dua makna: pertama, tumbuh dan bertambah; kedua, kebaikan yang berkesinambungan.
Jadi, keberkahan dalam bisnis bukan cuma soal omzet yang naik
terus, tapi juga tentang kebaikan yang berkelanjutan dan manfaat yang melimpah.
Bisnis yang berkah adalah bisnis yang profitnya terus
bertambah, memberikan manfaat kepada banyak orang, dan yang terpenting, membawa
kebaikan tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Caranya? Dengan beriman
kepada Allah dan beramal saleh dalam setiap aktivitas bisnis.
Lima Prinsip Akad dalam Bisnis Islam
Setelah memahami tujuan bisnis Islam, sekarang kita masuk ke
bagian praktis yakni bagaimana sih sebenarnya cara menjalankan bisnis sesuai
syariah? Islam punya beberapa prinsip akad atau perjanjian yang bisa kamu terapkan
dalam berbagai jenis usaha.
1. Prinsip Murabahah: Transparansi adalah Kunci
Murabahah adalah akad jual beli di mana penjual harus menjelaskan secara detail dan terperinci semua informasi tentang barang yang dijual.
Kualitas seperti apa, harga pokoknya berapa, kondisi barangnya
bagaimana, sampai syarat-syarat pembeliannya harus dijelaskan dengan gamblang.
Prinsip ini menekankan pentingnya transparansi dan kejujuran. Tidak boleh ada yang disembunyikan. Setelah semua informasi terbuka, barulah transaksi bisa dilakukan kalau kedua belah pihak sudah sepakat.
Prinsip ini mungkin terdengar simple
tapi sebenarnya sangat powerful, karena prinsip ini mencegah terjadinya sengketa di kemudian
hari.
2. Prinsip Salam: Pesan Sekarang, Terima Nanti
Pernah pesan produk custom atau pre-order? Nah, itu dia
contoh transaksi dengan prinsip salam. Dalam akad ini, pembeli melakukan
pemesanan dengan spesifikasi tertentu dan membayar di muka. Produknya baru akan diserahkan pada waktu yang telah disepakati.
Yang penting dalam prinsip salam adalah kesepakatan yang jelas tentang spesifikasi produk baik itu ukuran, kualitas, kondisi, jumlah, dan jenisnya.
Kalau ternyata produk yang diserahkan tidak sesuai kesepakatan atau
ada cacat, penjual harus bertanggung jawab penuh. Ini melindungi hak pembeli
sekaligus mendorong penjual untuk profesional.
3. Prinsip Istishna: Mirip Salam tapi Lebih Fleksibel
Istishna hampir mirip dengan salam, bedanya ada di sistem
pembayaran. Kalau salam harus bayar di muka, istishna lebih fleksibel karena
pembayaran bisa dilakukan belakangan sesuai kesepakatan.
Biasanya prinsip ini dipakai untuk produksi barang-barang
yang membutuhkan proses pembuatan khusus, seperti furniture custom atau
konveksi.
Yang tetap sama adalah keharusan untuk menetapkan
spesifikasi produk dengan jelas sejak awal. Ini memastikan tidak ada pihak yang
dirugikan dan semua berjalan sesuai kesepakatan.
4. Prinsip Musyarakah: Gotong Royong dalam Berbisnis
Musyarakah adalah akad kerjasama di mana dua pihak atau
lebih sepakat mendirikan dan mengelola bisnis bersama-sama. Semua pihak
berkontribusi, baik modal, tenaga, maupun keahlian.
Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan di awal, begitu juga
dengan risiko kerugian yang harus ditanggung bersama.
Prinsip ini mencerminkan semangat kerjasama dan keadilan
dalam Islam. Tidak ada yang dominan, semua punya hak dan kewajiban yang
seimbang. Ini cocok banget untuk usaha-usaha yang membutuhkan modal dan
keahlian dari berbagai pihak.
5. Prinsip Mudharabah: Partnership Modal dan Keahlian
Mudharabah adalah bentuk kerjasama di mana ada pembagian
peran yang jelas, artinya satu pihak sebagai pemilik modal atau shahibul maal dan
pihak lain sebagai pengelola modal (mudharib).
Pemilik modal menyediakan dana, sementara pengelola
menyumbangkan keahlian dan tenaganya untuk menjalankan bisnis.
Keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati di awal,
misalnya 60:40 atau 70:30. Sedangkan kerugian, kalau murni karena faktor bisnis bukan kelalaian pengelola, ditanggung oleh pemilik modal.
Tapi kalau kerugian terjadi karena kelalaian atau kesalahan
pengelola, maka pengelola yang harus bertanggung jawab.
Prinsip mudharabah ini sangat populer dalam perbankan
syariah dan cocok untuk mereka yang punya modal tapi tidak punya waktu atau
keahlian untuk berbisnis, atau sebaliknya.
Karakteristik Unik Bisnis Islam yang Perlu Kita
Ketahui
Bisnis Islam punya karakteristik khusus yang membedakannya
dari sistem bisnis lainnya. Karakteristik ini bukan sekadar teori, tapi fondasi
yang membuat bisnis Islam tetap relevan sepanjang zaman.
1. Ilahiyah: Bersumber dari Wahyu Ilahi
Yang pertama dan paling fundamental, bisnis Islam bersumber
langsung dari wahyu Allah SWT yang tertuang dalam Al-Quran dan Hadits. Bukan
dari pemikiran manusia yang bisa salah dan berubah-ubah, tapi dari Sang
Pencipta yang Maha Tahu segala sesuatu.
Karena bersumber dari Allah, hukum-hukum dalam bisnis Islam
bersifat mutlak dan akan selalu sesuai untuk semua manusia, di mana pun, kapan
pun, dan dalam kondisi apa pun.
Nah mengenai masalah-masalah teknis yang tidak diatur secara
eksplisit, kita bisa mengikuti rujukan para ulama yang melakukan ijtihad, tapi
tetap dalam koridor Al-Quran dan Hadits.
2. Harmoni Naqli dan Aqli: Dalil dan Logika Sejalan
Karakteristik kedua adalah keselarasan antara dalil syar'i (naqli) dengan logika manusia (aqli). Semua aturan dalam bisnis Islam bukan
hanya karena ada dalilnya, tapi juga masuk akal secara logika.
Contohnya, kenapa riba diharamkan? Selain ada dalilnya yang jelas dalam Al-Quran, secara logika riba juga mengandung unsur kezaliman.
Peminjam yang sedang kesulitan justru dibebankan bunga yang makin memberatkan.
Ini tidak adil dan merugikan pihak yang lemah.
Begitu juga dengan prinsip-prinsip bisnis lainnya. Sesuatu
yang awalnya haram bisa jadi boleh karena kondisi darurat, seperti meminjam
dengan riba ketika benar-benar dalam keadaan terdesak untuk menyelamatkan
nyawa. Semua ada logikanya dan bisa dipahami dengan akal sehat.
3. Syumuliyya: Komprehensif dan Lengkap
Islam punya aturan yang sangat lengkap dan komprehensif
tentang bisnis. Bukan hanya mengatur soal akad atau transaksinya saja, tapi
juga sampai ke penyelesaian sengketa kalau terjadi masalah di kemudian hari.
Dari awal akad dibuat, proses pelaksanaannya, sampai
berakhirnya akad, semuanya ada aturannya. Bahkan untuk model-model bisnis baru
yang belum pernah ada di zaman Rasulullah, sistem hukum Islam tetap bisa
memberikan solusi karena perangkatnya sudah lengkap.
Ini yang membuat bisnis Islam tidak ketinggalan zaman. Mau
bisnis online, e-commerce, atau model bisnis digital apa pun, tetap bisa
dijalankan sesuai syariah asalkan kita memahami prinsip-prinsip dasarnya.
4. Universal: Berlaku untuk Semua
Ajaran Islam bersifat universal, tidak terbatas pada suku,
ras, atau wilayah tertentu. Hukum bisnis Islam berlaku untuk orang Arab dan
non-Arab, kulit putih dan kulit hitam, orang kaya dan orang miskin. Semua sama
di hadapan aturan Allah.
Sifat universal ini sesuai dengan kekuasaan Allah yang tidak terbatas. Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam adalah panduan hidup yang cocok untuk semua zaman dan tempat.
Aturan-aturan di dalamnya fleksibel namun
tetap pada prinsip-prinsip dasar yang tidak berubah.
5. Mashlahah: Mendatangkan Kemaslahatan
Semua aturan dalam bisnis Islam bertujuan untuk mendatangkan
kemaslahatan atau kebaikan bagi manusia. Bentuknya adalah perlindungan dan
pemeliharaan terhadap aktivitas bisnis mereka.
Yang menarik adalah dalam Islam lebih memprioritaskan
kemaslahatan umum atau mashlahah 'ammah dibanding kepentingan individu.
Jadi kalau terjadi benturan antara kepentingan pribadi
dengan kepentingan masyarakat luas, maka kepentingan masyarakat yang
diutamakan. Ini mencegah terjadinya monopoli dan eksploitasi yang merugikan
banyak orang.
6. Duniawi dan Ukhrawi: Sanksi di Dua Alam
Karakteristik terakhir adalah adanya sanksi yang bersifat
duniawi sekaligus ukhrawi atau akhirat bagi yang melanggar aturan.
Sanksi dunia bisa berupa hukuman yang sudah ditetapkan atau keputusan hakim atau ta'zir. Sementara sanksi akhirat adalah ancaman
siksa setelah mati hingga dimasukkan ke neraka.
Sistem sanksi ganda ini membuat pelaku bisnis Islam punya
pertimbangan lebih dalam sebelum melakukan pelanggaran. Bukan cuma takut
ketahuan orang atau masuk penjara, tapi juga takut akan siksa Allah di akhirat
nanti.
Konsep Harta dan Kepemilikan dalam Pandangan Islam
Setelah membahas panjang lebar tentang prinsip bisnis,
sekarang kita perlu memahami konsep dasar tentang harta dan kepemilikan dalam
Islam. Kenapa? yah bagaimana kita mau berbisnis kalau kita saja belum paham
konsep hartanya, betul bukan?
Apa Itu Harta Menurut Islam?
Dalam bahasa Arab, harta disebut al-mal (tunggal) atau
al-amwal (jamak). Menurut kamus Al-Muhith karya Alfairuz Abadi, harta adalah
"ma malakatahu min kulli syai'" yang artinya segala sesuatu yang
engkau miliki.
Secara istilah syariah, harta didefinisikan sebagai segala
sesuatu yang dapat dimanfaatkan menurut cara-cara yang dibenarkan syariah.
Bisa dalam bentuk jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam,
konsumsi langsung, atau hibah. Intinya, selama bisa dimanfaatkan secara halal,
itu bisa disebut harta.
Nasrun Haroen menjelaskan lebih detail bahwa harta adalah
segala yang diminati manusia dan dapat dihadirkan ketika diperlukan. Atau bisa
juga diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan, dan
dimanfaatkan.
Jadi bukan hanya uang atau emas, tapi juga rumah, tanah,
kendaraan, bahkan skill dan keahlian bisa dianggap sebagai harta.
Filosofi Kepemilikan dalam Islam
Nah, ini bagian yang penting banget untuk dipahami. Islam
punya pandangan unik tentang kepemilikan harta. Pemilik sejati dari semua harta
yang ada di dunia ini adalah Allah SWT. Manusia? Kita hanya penerima titipan
sementara.
Konsep ini berbeda jauh dengan sistem kapitalis yang
mengakui kepemilikan mutlak individu atas hartanya. Dalam Islam, kepemilikan
mutlak tidak diakui.
Kenapa? Karena sewaktu-waktu Allah bisa mengambil kembali
harta yang Iya titipkan. Kita bisa jadi kaya raya hari ini, akan tetapi bisa
saja dalam semalam besok jadi bangkrut karena bencana atau musibah.
Dengan memahami konsep ini, seharusnya kita jadi lebih bijak
dalam mengelola harta. Tidak serakah, tidak sombong, dan tidak lupa untuk
berbagi kepada yang membutuhkan. Karena pada dasarnya, harta yang kita miliki
adalah amanah dari Allah yang harus kita pertanggungjawabkan.
Harta sebagai Sarana Mendekat kepada Allah
Islam memandang harta bukan sebagai tujuan, tapi sebagai
sarana. Sarana untuk apa? Untuk mendekatkan diri kepada Allah dan berbuat
kebaikan kepada sesama manusia.
Dengan harta, kita bisa beribadah lebih maksimal. Mau naik
haji butuh biaya, mau sedekah butuh harta, mau membangun masjid butuh dana.
Semua aktivitas kebaikan ini memerlukan harta sebagai mediumnya.
Karena itu, dalam maqashid syariah atau tujuan-tujuan syariah,
menjaga harta menjadi salah satu dari lima prinsip penting.
Bersama dengan menjaga agama, jiwa, akal, dan keturunan, menjaga harta adalah
bagian integral dari kehidupan yang Islami.
Kalau sikap ini berkembang dengan baik, harta akan
mengantarkan manusia pada derajat yang mulia, baik di sisi Allah maupun di mata
sesama manusia. Sebaliknya, kalau harta dijadikan tujuan dan membuat kita lupa
pada Allah, maka harta bisa menjadi musibah yang mencelakakan.
Klasifikasi Harta dalam Islam: Memahami Jenisnya
Para ulama telah membagi harta menjadi beberapa kategori
berdasarkan berbagai aspek. Pemahaman tentang klasifikasi ini penting agar kita
tahu bagaimana hukum dan cara menggunakannya. Mari kita bahas satu per satu.
1. Berdasarkan Kebolehan Pemanfaatannya
Harta Mutaqawwim
Ini adalah harta yang boleh
dimanfaatkan menurut syariah dengan dua syarat. Pertama, harta tersebut
dimiliki secara sah oleh pemiliknya. Kedua, cara pemanfaatannya sesuai dengan
hukum syara'.
Contohnya, daging sapi. Sapi memang halal dimakan, tapi kalau cara penyembelihannya salah, maka dagingnya tidak bisa dikonsumsi karena tidak disembelih sesuai syariah.
Begitu juga barang-barang yang diperoleh dari
hasil yang halal dan digunakan untuk tujuan yang baik.
Harta Ghairu Mutaqawwim
Ini kebalikannya, yaitu harta yang tidak boleh dimanfaatkan menurut syariah. Bisa karena jenisnya memang haram seperti daging babi, cara memperolehnya haram seperti hasil mencuri, atau cara penggunaannya untuk hal yang haram seperti dana untuk membangun tempat maksiat.
2. Berdasarkan Kemungkinan Dipindahkan
Harta Manqul
Harta yang bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, baik bentuknya tetap maupun berubah.
Termasuk dalam
kategori ini adalah uang, barang dagangan, hewan ternak, kendaraan, dan
sebagainya. Harta jenis ini lebih likuid dan mudah untuk ditransaksikan.
Harta Ghairu Manqul
Harta yang tidak bisa
dipindahkan atau dibawa dari satu tempat ke tempat lain. Contoh paling jelas
adalah tanah dan bangunan yang ada di atasnya. Harta jenis ini biasanya punya
nilai yang lebih stabil dan cocok untuk investasi jangka panjang.
3. Berdasarkan Cara Pemanfaatannya
Harta Isti'mali
Harta yang meskipun digunakan
berkali-kali, bendanya tetap utuh. Misalnya rumah, mobil, sepatu, tempat tidur,
dan sebagainya. Kamu bisa menggunakan rumah untuk tinggal bertahun-tahun, tapi
rumahnya tetap ada meskipun mungkin perlu perawatan.
Harta Istihlaki
Harta yang kalau digunakan akan
habis atau berkurang. Contohnya makanan, sabun, bahan bakar, dan sejenisnya.
Sekali pakai, habis deh. Tidak bisa digunakan lagi.
4. Berdasarkan Ketersediaan di Pasaran
Harta Mitsli
Harta yang jenisnya mudah ditemukan di
pasaran dengan bentuk atau nilai yang persis sama. Dibagi menjadi empat jenis yaitu yang ditakar seperti minyak, yang ditimbang seperti gula, yang
dihitung seperti telur, dan yang dijual dengan meteran seperti kain.
Jenis harta ini penting dalam transaksi utang-piutang. Kalau
kamu pinjam beras 10 kg, maka kamu bisa kembalikan dengan beras 10 kg yang
kualitasnya sama, tidak harus beras yang persis sama dengan yang dipinjam.
Harta Qimi
Harta yang tidak ada padanan persis di
pasaran, atau ada jenisnya tapi setiap unitnya berbeda kualitas. Contohnya
lukisan karya seniman terkenal, mobil antik, atau perhiasan dengan desain
khusus. Untuk menentukan nilainya, biasanya perlu penaksiran khusus.
5. Berdasarkan Status Kepemilikannya
Harta Mamluk
Harta yang sudah dimiliki, baik oleh
perorangan, badan hukum, atau negara. Ada dua jenis yaitu pertama, harta
pribadi yang tidak berkaitan dengan hak orang lain contohnya seperti rumah yang kamu
tempati sendiri.
Kedua, harta yang dimiliki bersama dan berkaitan dengan hak
pihak lain misalnya seperti rumah yang dikontrakkan atau mobil yang disewakan.
Harta Mubah
Harta yang asalnya bukan milik
siapa-siapa dan boleh dimanfaatkan oleh siapa saja. Contohnya air dari mata air
alami, binatang buruan di hutan, pohon-pohon di hutan rimba. Tapi ingat,
meskipun bebas diambil, tetap harus menjaga kelestarian alamnya ya!
Harta Mahjur
Harta yang ada larangan syara' untuk
memilikinya. Bisa karena sudah diwakafkan atau diperuntukkan untuk kepentingan
umum.
Harta jenis ini tidak bisa diperjualbelikan, diwariskan,
dihibahkan, atau dipindah tangankan dengan cara apa pun. Contoh jenis harta ini
adalah tanah wakaf untuk masjid atau jalan umum.
Implementasi dalam Kehidupan Nyata
Setelah kita memahami semua teori dan konsep di atas,
pertanyaan pentingnya adalah bagaimana sih cara mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari? Terutama jika kita ingin memulai atau sudah menjalankan
bisnis.
1. Mulai dengan Niat yang Benar
Pertama dan paling penting, meluruskan niat. Setiap kali hendak berbisnis, tanamkan dalam hati bahwa ini adalah bentuk ibadah kepada Allah.
Kita mencari rezeki halal bukan hanya untuk kepentingan duniawi, tapi
juga sebagai bekal akhirat.
Dengan niat yang benar, kamu akan lebih berhati-hati dalam
memilih jenis usaha, cara berbisnis, dan penggunaan keuntungan. Kamu akan
otomatis menghindari hal-hal yang haram dan selalu berusaha melakukan yang
terbaik.
2. Pilih Jenis Usaha yang Halal
Pastikan produk atau jasa yang kamu tawarkan adalah yang halal, baik dari segi zatnya, cara memperolehnya, maupun cara penggunaannya.
Hindari bisnis yang jelas-jelas haram seperti jual beli barang haram, atau yang
mengandung unsur gharar atau ketidakjelasan, maysir atau perjudian, dan riba.
Kalau kamu ragu apakah suatu bisnis halal atau tidak,
konsultasikan dengan ulama atau ahli ekonomi syariah yang terpercaya. Jangan
sampai rezeki yang kamu dapatkan justru membawa murka Allah.
3. Praktikkan Transparansi dan Kejujuran
Terapkan prinsip murabahah dalam setiap transaksi. Berikan
informasi yang lengkap dan jujur kepada customer tentang produk yang kamu jual.
Jangan ada yang disembunyikan, apalagi menipu.
Kejujuran mungkin terlihat seperti merugikan dalam jangka
pendek, tapi percayalah, dalam jangka panjang justru akan mendatangkan
keberkahan dan kepercayaan pelanggan yang loyal.
4. Jaga Akhlak dalam Berbisnis
Akhlak mulia harus menjadi trademark bisnismu. Ramah kepada
pelanggan, adil dalam timbangan, tepat waktu dalam pengiriman, dan bertanggung
jawab atas produk yang dijual. Ini semua bagian dari qimah khuluqiyah yang kita
bahas tadi.
Ingat, Rasulullah SAW berhasil dalam berdagang bukan karena
strategi marketing yang canggih, tapi karena sifat jujur atau ash-shiddiq dan
amanah yang beliau miliki. Pelanggan percaya dan suka berbisnis dengan beliau
karena merasa aman dan tidak akan ditipu.
5. Sisihkan Sebagian Keuntungan untuk Sedekah
Jangan lupa, salah satu tujuan bisnis Islam adalah
memberikan manfaat kepada masyarakat luas. Biasakan untuk menyisihkan sebagian
keuntungan untuk fakir miskin, anak yatim, atau program-program sosial lainnya.
Ini bukan hanya tentang CSR atau pencitraan, tapi tentang
kesadaran bahwa harta yang kita miliki sebagian adalah hak orang lain. Dengan
berbagi, kita tidak akan rugi. Justru Allah akan mengganti dengan yang lebih
baik dan memberkahi usaha kita.
6. Hindari Praktik yang Diharamkan
Dalam menjalankan bisnis, waspadai praktik-praktik yang diharamkan dalam Islam. Riba dalam bentuk apa pun harus dihindari, termasuk bunga bank konvensional untuk modal usaha.
Semisal saja ketika kita ternyata butuh dana tambahan dalam bisnis, sebaiknya carilah dulu alternatif pembiayaan syariah seperti mudharabah atau musyarakah.
Gharar atau ketidakjelasan juga harus dihindari. Pastikan
semua kesepakatan jelas, dari spesifikasi produk, harga, hingga mekanisme penyelesaian masalah kalau terjadi sengketa. Jangan sampai ada
pihak yang merasa dirugikan karena informasi yang tidak lengkap.
Maysir atau unsur perjudian juga wajib dijauhi. Bisnis model
MLM atau investasi bodong yang sistemnya mirip judi harus dihindari meskipun
terlihat menguntungkan.
Tantangan dan Solusi Berbisnis Islami di Era Modern
Menjalankan bisnis sesuai prinsip Islam di era modern memang
tidak selalu mudah. Ada berbagai tantangan yang mungkin kita hadapi. Tapi
tenang, setiap tantangan pasti ada solusinya. Berikut adalah beberapa tantangan
yang mungkin akan kamu hadapi :
1. Tantangan Persaingan yang Ketat
Di era digital seperti sekarang, persaingan bisnis semakin
ketat. Banyak pelaku usaha yang menggunakan cara-cara curang untuk memenangkan
kompetisi, seperti black campaign, memanipulasi review, atau bahkan menjatuhkan
kompetitor.
Solusinya tetaplah fokus pada kualitas produk dan pelayanan. Percayalah bahwa rezeki sudah diatur Allah.
Kalau kamu konsisten memberikan
yang terbaik dengan cara yang halal, pelanggan yang baik akan datang dengan
sendirinya. Ingat, keberkahan lebih penting dari sekadar keuntungan besar.
2. Tekanan untuk Mengikuti Sistem Konvensional
Sistem ekonomi yang berlaku secara umum masih banyak yang
berbasis riba, seperti perbankan konvensional. Kadang kita merasa
"terpaksa" menggunakannya karena alternatif syariah masih terbatas
atau prosesnya lebih ribet.
Solusinya manfaatkan lembaga keuangan syariah yang sudah
semakin banyak dan berkembang. Bank syariah, koperasi syariah yang bisa jadi
alternatif. Memang mungkin agak repot di awal, tapi ingat bahwa ini bagian dari
komitmen kita menjalankan bisnis yang diberkahi Allah.
3. Godaan Untuk Mengambil Jalan Pintas
Kadang ada peluang untuk mendapat keuntungan besar dengan
cara yang tidak sepenuhnya halal. Misalnya mengemplang pajak, menggunakan bahan
baku yang tidak sesuai standar tapi lebih murah, atau membayar karyawan di
bawah upah minimum.
Ingat konsep keberkahan yang kita bahas tadi. Keuntungan
yang tidak berkah justru akan mendatangkan masalah di kemudian hari. Lebih baik
untung sedikit tapi berkah, daripada untung besar tapi penuh masalah. Tanamkan
kesadaran bahwa Allah mengawasi setiap langkah kita.
4. Kesulitan Mengedukasi Konsumen
Tidak semua konsumen paham tentang konsep bisnis Islam.
Mereka mungkin menganggap produk syariah lebih mahal atau lebih ribet, padahal
sebenarnya tidak selalu begitu.
Jadikan marketing sebagai media dakwah. Edukasi konsumen dengan cara yang menarik dan mudah dipahami tentang keunggulan produk halal dan sistem bisnis syariah.
Gunakan media sosial, blog, atau konten video untuk
menyebarkan awareness tanpa terkesan menggurui.
Setelah membaca panjang lebar tentang prinsip bisnis dalam
Islam dan konsep kepemilikan harta, semoga kamu mendapat pencerahan baru
tentang bagaimana seharusnya berbisnis sebagai seorang Muslim.
Ingat, bisnis dalam Islam bukan sekadar mencari untung. Ini
adalah ibadah, ini adalah dakwah, ini adalah amanah yang akan kita
pertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Dengan memahami konsep ini, setiap
langkah bisnis yang kita ambil akan lebih bermakna dan terarah.
Mulailah dengan niat yang benar, pilih jenis usaha yang
halal, terapkan prinsip-prinsip syariah dalam setiap transaksi, jaga akhlak
mulia dalam berbisnis, dan jangan lupa berbagi kepada yang membutuhkan. Dengan
begitu, bisnismu bukan hanya akan menguntungkan secara finansial, tapi juga
mendatangkan keberkahan yang melimpah.





Posting Komentar