Bayangkan kamu punya uang Rp 100 juta dihadapkan dengan pilihan investasi aman dengan return 5% pasti, atau investasi berisiko yang bisa untung 30% tapi juga bisa rugi 20%.
Mana yang akan kamu pilih? Kalau kamu bingung, selamat kamu termasuk
orang normal. Keputusan yang melibatkan risiko memang selalu bikin galau,
apalagi kalau taruhannya besar.
Nan, pada artikel sebelumnya kita telah membahas tentang Apa itu Persepsi? dimana kita
sudah membahas bagaimana persepsi dan bias kognitif mempengaruhi kualitas
keputusan kita.
Tapi ada satu elemen krusial yang belum kita bahas tuntas yaitu
risiko. Dalam dunia nyata khususnya bisnis tidak ada keputusan yang bebas
risiko.
Setiap pilihan membawa konsekuensi yang tidak pasti. Yang
membedakan pemimpin hebat dari yang biasa-biasa saja adalah bagaimana mereka
mengelola risiko tersebut.
Maka dari itu pada artikel kali ini akan membongkar apa itu
risiko dalam konteks bisnis, jenis-jenisnya, bagaimana mengelolanya, dan yang
paling penting adalah strategi konkret untuk mengambil keputusan ketika
informasi yang kamu punya tidak sempurna. Ready? Mari kita mulai.
Memahami Risiko: Bukan Sekadar "Hal Buruk yang
Mungkin Terjadi"
Kebanyakan orang menganggap risiko sebagai sesuatu yang
negatif yaitu ancaman yang harus dihindari. Tapi dalam dunia bisnis,
definisinya lebih bernuansa dari itu.
Risiko adalah ketidakpastian atas terjadinya suatu
peristiwa. Lebih spesifik lagi, risiko adalah peluang terjadinya hasil yang
berbeda dari yang diharapkan bisa saja lebih baik, bisa lebih buruk.
Ini poin penting yang sering dilupakan risiko bukan hanya
tentang kerugian potensial, tapi juga tentang variabilitas hasil. Ketika kamu
memulai bisnis baru, risikonya bukan hanya bangkrut—tapi juga kemungkinan
sukses besar yang tidak terprediksi.
Inilah kenapa entrepreneur yang jago bukan yang menghindari
risiko sama sekali, tapi yang tahu risiko mana yang worth it untuk diambil.
Dalam konteks aktivitas bisnis, ketidakpastian ini akan
selalu ada. Market bisa berubah tiba-tiba. Kompetitor bisa meluncurkan produk
disruptif. Regulasi pemerintah bisa berganti. Bahan baku bisa naik drastis.
Dan semua ketidakpastian tersebut menimbulkan risiko yang jika
tidak dikelola dengan baik, bisa memberikan ancaman serius bagi kelangsungan
perusahaan.
Jenis-Jenis Risiko: Kenali Musuhmu
Memahami jenis risiko adalah langkah pertama dalam
mengelolanya. Tidak semua risiko diciptakan sama, dan strategi menghadapinya
pun berbeda. Mari kita breakdown satu per satu:
1. Risiko Murni vs Risiko Spekulatif
Risiko murni adalah risiko yang jika terjadi pasti
menimbulkan kerugian dan munculnya tanpa disengaja.
Contohnya saja kebakaran pabrik, bencana alam, pencurian,
atau kecelakaan kerja. Ini adalah risiko yang ingin kamu hindari sepenuhnya
atau minimal dampaknya lewat asuransi dan proteksi.
Di sisi lain, risiko spekulatif adalah risiko yang
sengaja kamu ambil karena ada potensi keuntungan. Contohnya investasi saham,
ekspansi bisnis ke pasar baru, peluncuran produk inovatif, atau trading
komoditas.
Dalam risiko spekulatif, ada kemungkinan untung, rugi, atau
break even. Inilah yang dimaksud dengan "high risk, high return." Yang
menarik, banyak entrepreneur sukses justru jago mengubah perspektif risiko
murni menjadi peluang.
Contohnya ketika pandemi COVID-19 melanda risiko murni bagi
kebanyakan bisnis, beberapa perusahaan justru pivot dan berkembang pesat seperti
bisnis delivery, platform meeting online, atau produk kesehatan.
2. Risiko Fundamental vs Risiko Khusus
Risiko fundamental adalah risiko yang penyebabnya
tidak dapat dilimpahkan kepada seseorang dan yang menderita bukan hanya satu
pihak.
Contohnya banjir besar, gempa bumi, inflasi tinggi, atau
resesi ekonomi. Ini adalah risiko sistemik yang mempengaruhi banyak pihak
sekaligus.
Risiko khusus bersumber pada peristiwa mandiri dan
umumnya mudah diketahui penyebabnya seperti kapal kandas, pesawat jatuh,
tabrakan truk pengangkut barang, atau kebakaran gudang. Risiko ini lebih mudah
diasuransikan karena bersifat individual dan spesifik.
3. Risiko Dinamis vs Risiko Statis
Risiko dinamis muncul karena perkembangan dan
kemajuan masyarakat di bidang ekonomi dan teknologi. Contohnya adalah risiko
produk menjadi obsolete karena teknologi baru, risiko disruption dari startup,
atau risiko perubahan preferensi konsumen.
Inilah kenapa Nokia yang dulunya raja ponsel bisa tumbang mereka
tidak cukup cepat mengantisipasi risiko dinamis dari smartphone.
Risiko statis adalah risiko yang relatif tidak
berubah dari waktu ke waktu, seperti risiko hari tua, kematian, atau cacat
permanen. Risiko jenis ini lebih mudah diprediksi dan diasuransikan.
4. Berdasarkan Sumber: Risiko Internal vs Eksternal
Risiko internal berasal dari dalam perusahaan sendiri
seperti kecelakaan kerja, kerusakan aset karena kelalaian karyawan,
mismanajemen, konflik internal, atau sistem yang tidak efisien.
Kabar baiknya, risiko internal relatif lebih mudah dikontrol
karena kamu punya kendali penuh atas faktor-faktornya.
Risiko eksternal datang dari luar seperti penipuan
vendor, persaingan yang ketat, fluktuasi harga, perubahan regulasi, atau
ketidakstabilan politik. Risiko eksternal lebih menantang karena kamu tidak
bisa mengontrol penyebabnya dan hanya bisa mengantisipasi dan bersiap
menghadapinya.
5. Risiko yang Dapat dan Tidak Dapat Dialihkan
Beberapa risiko bisa dialihkan ke pihak lain, biasanya
melalui mekanisme asuransi. Kamu bayar premi, dan kalau risiko terjadi,
perusahaan asuransi yang menanggung kerugiannya. Ini cocok untuk risiko murni
seperti kebakaran, pencurian, atau kecelakaan.
Tapi ada juga risiko yang tidak bisa dialihkan seperti
risiko reputasi, risiko kehilangan market share, atau risiko keputusan
strategis yang salah. Untuk risiko jenis ini, kamu harus punya strategi
mitigasi sendiri.
Hazard, Peril, dan Loss: Memahami Anatomi Kerugian
Dalam manajemen risiko, ada tiga konsep yang saling terkait
erat dan penting untuk dipahami yaitu :
1. Hazard
Pertama hazard adalah kondisi atau keadaan bahaya yang dapat
memperbesar kemungkinan terjadinya peril. Misalnya instalasi listrik yang tidak
standar adalah hazard yang meningkatkan risiko kebakaran.
Lantai yang licin adalah hazard yang meningkatkan risiko
kecelakaan kerja. Sistem keamanan data yang lemah adalah hazard yang
meningkatkan risiko cyber attack.
2. Peril
Kedua peril adalah peristiwa atau kejadian yang menimbulkan
kerugian. Ini adalah "event" yang kamu takutkan seperti kebakaran,
pencurian, kecelakaan, atau bencana alam. Peril adalah realisasi dari risiko.
3. Loss
Dan yang ketiga Loss, merupakan kerugian aktual yang diderita akibat
terjadinya peril. Ini bisa berupa kerugian finansial langsung misalnya nilai
aset yang rusak, kerugian operasional, atau kerugian tidak langsung contonya hilangnya
kepercayaan pelanggan.
Memahami ketiga konsep ini penting karena strategi manajemen
risiko yang efektif harus menyasar ketiganya yaitu mengurangi hazard, mencegah
peril, dan meminimalkan loss jika peril tetap terjadi.
Strategi Penanggulangan Risiko: Dari Pencegahan hingga
Transfer
Ada empat strategi utama dalam menanggulangi risiko, dan
masing-masing punya tempatnya tergantung jenis risiko dan kondisi perusahaan:
1. Risk Prevention (Pencegahan)
Ini adalah strategi paling proaktif yaitu mengidentifikasi
hazard dan mengambil langkah-langkah untuk mencegah terjadinya peril.
Contohnya dengan memasang sprinkler dan alarm kebakaran
untuk mencegah kebakaran, mengadakan training keselamatan kerja untuk mencegah
kecelakaan, atau melakukan quality control ketat untuk mencegah produk cacat.
Prevention memang memerlukan investasi di depan, tapi biasanya
jauh lebih murah daripada menanggung kerugian kalau peril terjadi. Seperti kata
pepatah prevention is better than cure.
2. Risk Retention (Retensi)
Kadang kamu memutuskan untuk "mentolerir"
terjadinya kerugian dengan sadar menerima risiko dan menyiapkan dana untuk
mengatasinya kalau terjadi. Ini masuk akal untuk risiko-risiko kecil yang
frekuensinya rendah atau biaya asuransinya tidak worth it.
Misalnya, perusahaan besar biasanya tidak mengasuransikan
setiap laptop karyawan. Mereka menyiapkan dana cadangan untuk mengganti laptop
yang hilang atau rusak. Biaya cadangan ini lebih murah daripada membayar premi
asuransi untuk ribuan laptop.
3. Risk Control (Pengendalian)
Ini adalah upaya untuk mengurangi dampak kerugian jika
risiko terjadi. Contohnya diversifikasi investasi untuk mengurangi risiko
kerugian total, melakukan hedging dalam trading untuk mengunci harga, atau
punya backup supplier untuk mengantisipasi gangguan supply chain.
Dalam perdagangan berjangka misalnya, produsen kopi bisa
melakukan hedging dengan menjual kontrak futures untuk mengunci harga jual.
Jika harga kopi turun, kerugian di spot market dioffset oleh keuntungan di
futures market.
4. Risk Transfer (Transfer Risiko)
Ini adalah strategi mengalihkan risiko ke pihak lain,
biasanya melalui asuransi. Kamu bayar premi, dan perusahaan asuransi menanggung
risiko tertentu. Ini cocok untuk risiko yang dampaknya besar tapi
probabilitasnya rendah seperti kebakaran besar atau bencana alam.
Transfer risiko juga bisa dilakukan melalui kontrak.
Misalnya, dalam proyek konstruksi, risiko keterlambatan atau kualitas bisa
dialihkan ke kontraktor melalui klausul kontrak yang jelas.
Manajemen Risiko: Sistem Pengawasan yang Sistematis
Manajemen risiko bukan sekadar reaksi terhadap masalah yang
muncul, tapi sistem pengawasan risiko yang terstruktur untuk melindungi aset,
hak milik, dan profitabilitas perusahaan. Ini adalah proses berkelanjutan yang
melibatkan lima langkah krusial:
Langkah 1: Identifikasi dan Penaksiran Risiko
Kamu tidak bisa mengelola apa yang tidak kamu ketahui.
Langkah pertama adalah mengidentifikasi semua risiko potensial yang bisa
mempengaruhi bisnis dimulai dari risiko operasional, finansial, strategis,
hingga reputasional. Setelah itu, taksir probabilitas dan dampak masing-masing
risiko.
Tools yang bisa dipakai yaitu risk matrix, SWOT analysis,
scenario planning, atau historical data analysis. Yang penting adalah
komprehensif, tapi perlu di ingat jangan sampai ada blind spot.
Langkah 2: Menetapkan Kebijakan
Berdasarkan hasil identifikasi, tentukan kebijakan untuk
masing-masing risiko: mana yang akan dicegah, mana yang akan ditolerir, mana
yang akan dikontrol, dan mana yang akan ditransfer. Kebijakan ini harus clear,
tertulis, dan dikomunikasikan ke seluruh organisasi.
Langkah 3: Melaksanakan Kebijakan dan Mengatur Risiko
Implementasi adalah kunci. Buat action plan konkret,
alokasikan sumber daya, assign responsibility, dan atur waktu. Tanpa eksekusi
yang baik, kebijakan hanya akan jadi dokumen mati.
Langkah 4: Monitoring Risiko
Risiko bersifat dinamis yang hari ini kecil bisa jadi besar
besok. Makanya perlu monitoring terus-menerus. Buat dashboard risiko, set up
early warning indicators, dan review secara berkala. Jangan tunggu sampai
risiko menjadi krisis.
Langkah 5: Testing Contingency Plan
Punya rencana kontinjensi itu bagus, tapi apakah rencana itu
akan bekerja kalau krisis terjadi? Di sinilah pentingnya testing. Simulasi
bencana,evakuasi, atau stress testing sistem. Semua ini memastikan bahwa ketika
situasi darurat terjadi, tim sudah tahu apa yang harus dilakukan.
Manfaat Manajemen Risiko yang Sering Diabaikan
Banyak perusahaan terutama yang kecil sampai menengah seringkali
manganggap manajemen risiko sebagai "cost center" yang tidak
produktif. Ini mindset yang salah. Manajemen risiko yang baik justru memberikan
value signifikan:
Pertama, membantu perusahaan menghindari biaya-biaya
yang tidak perlu. Kerugian akibat risiko yang tidak dikelola bisa jauh lebih
besar daripada investasi dalam manajemen risiko. Satu kebakaran besar bisa
membuat perusahaan bangkrut sementara biaya fire prevention system relatif
kecil.
Kedua, membantu manajemen membuat keputusan strategis
yang lebih baik. Dengan pemahaman yang jelas tentang risiko, kamu bisa
memutuskan risiko mana yang worth it untuk dan mana yang harus dihindari. Ini
adalah dasar dari strategi bisnis yang solid.
Ketiga, jika dilakukan dengan akurat, manajemen
risiko membantu memaksimalkan profit. Kenapa? Karena kamu bisa mengambil risiko
yang terkalkulasi artinya risiko yang potensial returnnya jauh lebih besar
daripada downside-nya.
Hal tersebut penting karena sebuah perusahaan yang tidak
berani ambil risiko sama sekali akan stagnan dan akhirnya tertinggal.
Dari Teori ke Praktik
Mengelola risiko dan mengambil keputusan di tengah
ketidakpastian adalah seni sekaligus sains. Sains-nya adalah menggunakan
framework dan kriteria yang sudah kita bahas dari manajemen risiko sistematis
hingga berbagai kriteria keputusan.
Seni-nya adalah knowing when to apply which tool, dan having
the wisdom to balance between data dan intuisi.
Beberapa keypoint yang penting yang perlu kamu ingat:
Pertama, risiko adalah keniscayaan dalam bisnis bukan
sesuatu yang harus dihindari sepenuhnya, tapi sesuatu yang harus dikelola
dengan cerdas. The best leaders bukan yang paling risk-averse, tapi yang paling
skillful dalam risk management.
Kedua, tidak ada pendekatan one-size-fits-all.
Kriteria pengambilan keputusan yang tepat tergantung pada konteks, risk
appetite, dan kondisi perusahaan kamu. Startup yang mengejar growth harus lebih
risk-taking daripada perusahaan mature yang fokus pada preservation.
Ketiga, informasi adalah kunci. Semakin baik kualitas
informasi yang kamu punya, semakin mudah mengambil keputusan yang tepat.
Investasi dalam data collection, market research, dan
business intelligence bukan cost akan tapi investasi untuk mengurangi
ketidakpastian dan meningkatkan kualitas keputusan.
Keempat, combine multiple approaches. Jangan hanya
andalkan satu kriteria atau satu perspektif. Gunakan berbagai framework,
konsultasi dengan orang yang punya expertise berbeda, dan consider multiple
scenarios. Keputusan terbaik biasanya muncul dari synthesis berbagai
perspektif.
Kelima, Belajarlah dari pengalaman baik itu pengalaman
sendiri maupun orang lain. Setiap keputusan adalah learning opportunity. Dengan
itu kamu akan mengambangkan intuisi yang lebih tajam tentang risiko mana yang
worth taking.
Praktik Terbaik dalam Implementasi
Mari kita tutup dengan beberapa tips praktis untuk
mengimplementasikan manajemen risiko dan pengambilan keputusan yang lebih baik
di organisasi kamu:
1. Build a Risk Culture
Manajemen risiko bukan hanya tanggung jawab risk manager
atau top management akan tapi harus menjadi budaya organisasi.
Setiap orang, dari level bawah hingga atas, harus sadar terhadap
risiko dan merasa bertanggung jawab untuk mengidentifikasi dan report potential
risks.
Cara membangunnya kamu bisa membuat risk awareness training,
dan rayakan ketika ada yang berhasil mengidentifikasi risiko sebelum jadi
masalah, dan jangan punish orang yang honest about mistakes tapi justru
belajarlah dari itu.
2. Create a Risk Register
Ini adalah dokumen living yang mencatat semua risiko yang
teridentifikasi, assessment-nya baik probabilitas maupun dampak, strategi
mitigasi, dan status terkini. Risk register harus di-review dan di-update
secara berkala, minimal quarterly.
Jangan hanya prepare untuk satu masa depan tapi prepare
untuk multiple plausible futures. Buat beberapa skenario seperti kasus terbaik
dan terburuk atau bahkan wild card scenarios dan kembangkanlah strategi untuk
masing-masing.
Ini membantu organisasi menjadi lebih fleksibel dan
resilient. Ketika terjadi event yang tidak dapat diprediksi, nantinya kamu
tidak totally surprised karena sudah pernah skenario yang serupa.
Baik untuk individu maupun organisasi, keep a decision
journal. Maksudnya setiap kali membuat keputusan penting, buatlah catatan apa
keputusannya, reasoning di baliknya, alternatif yang dipertimbangkan, apa hasil
yang diharapkan dan bagaimana hasilnya.
Dilain waktu, ini akan pattern dalam decision making kamu bisa
tahu bias apa yang sering muncul, jenis keputusan apa yang paling akurat, dan
area mana yang perlu di tingkatkan.
Jangan tunggu sampai krisis baru, lakukan tes apakah
contingency plan kamu bekerja. Lakukan regular stress testing dan simulation.
Misalnya simulasi cyber attack, evakuasi, atau war game dengan kompetitor
hypothetical.
Testing mengungkap weakness yang tidak obvious dan
membiasakan tim untuk merespons dengan tenang di bawah tekanan
Di era digital, ada banyak tools yang bisa membantu
manajemen risiko seperti risk management software, predictive analytics, AI
untuk pattern recognition, atau automation untuk monitoring.
7. Balance Speed and Deliberation
Di satu sisi, dalam dunia yang fast-moving, keputusan yang
lambat bisa menjadi bad decision. Di sisi lain, rushing ke keputusan tanpa analisa
yang proper juga dapat berbahaya.
Jadi kuncinya adalah ketahui dimana keputusan yang
reversible artinya bisa “di-undo” kalau salah dan mana yang irreversible atau
tidak bisa dibatalkan.
Untuk keputusan reversible, bisa dengan action langsung, decide
fast, learn fast, iterate fast. Untuk keputusan irreversible dengan high
stakes, take your time untuk proper analysis.
Jeff Bezos founder Amazon menyebut ini sebagai "Type1" vs "Type 2" decisions. Type 1 (irreversible, high impact)
needs more deliberation. Type 2 (reversible, lower impact) should be made
quickly by empowered teams.
Keputusan yang Menentukan Masa Depan
Di awal artikel, kita berbicara tentang dilema investasi:
pilih yang aman atau yang berisiko? Sekarang, setelah memahami berbagai aspek
risiko dan pengambilan keputusan, kamu tahu bahwa pertanyaan itu terlalu simplistic.
Pertanyaan yang lebih tepat adalah berapa risk appetite saya saat ini? Apa tujaun
jangka panjang saya? Berapa probabilitas dan expected value masing-masing opsi?
Apa worst-case scenario yang bisa saya handle? Apakah ada cara untuk mitigasi
downside sambil tetap capture upside?
Ini adalah kerangka berpikir yang lebih rumit tentang
menghindari atau mengambil risiko secara buta, tapi tentang membuat keputusan
yang terkalkulasi berdasarkan pemahaman yang jelas tentang trade-off yang ada.
Setiap hari, kita semua adalah seorang decision maker. Dari
keputusan kecil seperti mau fokus di tugas apa dulu hari ini, hingga keputusan
besar seperti accept job offer atau start a business. Kualitas kehidupan dan
karir kita adalah hasil kumulatif dari ribuan keputusan yang kita buat.
Good news-nya adalah skill pengambilan keputusan dan
manajemen risiko bisa dilatih. Semakin sering kamu melatih menggunakan
framework yang sudah kita bahas, semakin tajam judgment kamu. Semakin banyak
kamu reflect on past decisions, semakin wise kamu menjadi.
Seperti yang sudah kita bahas di artikel sebelumnya tentang Apa itu persepsi? memahami bias kognitif adalah langkah pertama. Memahami risiko dan memiliki
framework untuk menghadapi ketidakpastian adalah langkah berikutnya.
Sekarang, kamu sudah dilangkapi dengan knowledge dan tools
yang diperlukan. Yang tersisa adalah latihan. Mulailah dengan keputusan kecil, aplikasikan
frameworks, reflect on the outcomes, and selanjutnya ambil keputusan besar
dengan lebih percaya diri.
Tapi selalu ingat bahwa tidak ada keputusan yang sempurna,
tapi selalu ada keputusan yang lebih baik. Dan keputusan yang lebih baik, yang
terakumulasi setiap waktu akan menciptakan hasil yang luar biasa.
That's the power of understanding risk and decision making.
Use it wisely.



Posting Komentar