Pernahkah kamu merasa yakin 100% dengan suatu keputusan, tapi ternyata hasilnya mengecewakan? Atau pernah menilai seseorang dari kesan pertama, lalu menyesal karena ternyata salah? Kamu tidak sendirian kok.
Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar keputusan kita
ambil mulai dari memilih teman, partner kerja, hingga strategi bisnis sebenarnya
dipengaruhi oleh sesuatu yang jarang kita sadari yaitu persepsi.
Masalahnya, persepsi ini sering kali menipu kita. Seperti
kisah klasik enam orang buta yang menyentuh gajah satu bilang gajah seperti
dinding menyentuh badan, yang lain bilang seperti tali menyentuh ekor, dan
seterusnya.
Mereka semua benar menurut pengalaman masing-masing, tapi
tidak ada yang melihat gambaran utuh. Nah, dalam dunia kerja dan kehidupan
sehari-hari, kita sering jadi seperti orang buta itu.
Maka dari itu pada artikel ini akan membongkar bagaimana
persepsi mempengaruhi keputusan kita, kesalahan-kesalahan umum yang hampir
semua orang lakukan, dan cara mengatasinya agar keputusan kita lebih tajam dan
akurat.
Apa Sih Sebenarnya Persepsi Itu?
Secara sederhana, persepsi adalah cara kita mengorganisir
dan menafsirkan informasi yang masuk melalui panca indera untuk memberi makna
pada lingkungan sekitar.
Simpelnya bayangkan saja persepsi ini layaknya filter kamera
di smartphone dimana dua orang bisa memotret pemandangan yang sama, tapi dengan
filter berbeda, hasilnya bisa sangat beda.
Yang bikin persepsi ini menarik adalah sifatnya yang tidak
objektif. Persepsi kita dipengaruhi oleh tiga faktor utama yakni karakteristik
pengamat, karakteristik target yang diamati, dan konteks situasi seperti waktu,
tempat, dan lingkungan sosial.
Makanya, di dalam kehidupan nyata dua orang bisa punya
interpretasi yang berbeda 180 derajat walaupun mereka melihat kejadian yang
sama.
Dalam konteks organisasi dan kehidupan profesional, persepsi
ini jadi sangat krusial. Kenapa? Karena perilaku seseorang didasarkan pada
persepsi mereka tentang kenyataan, bukan kenyataan itu sendiri.
Keputusan-keputusan penting seperti merekrut karyawan,
memberikan promosi, hingga memilih partner bisnis. Sebagian besar dipengaruhi
oleh bagaimana kita mempersepsikan informasi yang ada di depan mata.
Teori Atribusi: Kenapa Kita Suka Salah Menilai Orang Lain
Nah, sekarang kita masuk ke bagian yang lebih seru. Pernah nggak
sih kamu menilai seseorang gagal dalam proyek karena dia malas atau tidak
kompeten?
Atau sebaliknya, ketika kamu sendiri yang gagal, kamu
cenderung menyalahkan faktor eksternal seperti kurangnya waktu, tim yang tidak
mendukung, atau sistem yang ribet? Ini yang dinamakan teori atribusi.
Teori ini menjelaskan bahwa ketika kita mengamati perilaku
orang lain, kita cenderung menentukan apakah perilaku tersebut disebabkan oleh
faktor internal dalam kendali orang itu, seperti kepribadian dan kompetensi
atau faktor eksternal di luar kendali, seperti keberuntungan dan kondisi
lingkungan.
Sayangnya, otak kita sering melakukan dua bias besar dalam
proses ini:
Kesalahan Atribusi Fundamental adalah kecenderungan
kita untuk meremehkan pengaruh faktor eksternal dan melebih-lebihkan faktor
internal ketika menilai orang lain.
Contohnya, kalau rekan kerja kamu terlambat submit laporan,
kamu langsung berpikir dia tidak disiplin atau malas. Padahal, bisa jadi dia
sedang menangani krisis keluarga atau sistemnya error. Kita terlalu cepat
menilai tanpa melihat konteks yang lebih luas.
Self-Serving Bias adalah kebalikannya. Ketika kita
sendiri yang berhasil, kita cenderung mengaitkannya dengan kemampuan atau usaha
kita atau faktor internal. Tapi kalau gagal, kita menyalahkan faktor eksternal.
Contoh dari kebiasaan ini adalah "Aku dapat nilai bagus
karena aku pintar dan rajin belajar. Tapi kalau dapat nilai jelek, pasti
dosennya yang tidak adil atau soalnya terlalu sulit."
Kedua bias ini sangat umum terjadi di tempat kerja dan bisa
merusak hubungan tim. Makanya, penting banget untuk sadar akan kecenderungan
ini dan berusaha lebih objektif dalam menilai situasi.
Jalan Pintas Berbahaya dalam Menilai Orang
Otak manusia itu efisien. Untuk menghemat energi, kita
sering menggunakan "jalan pintas" dalam membuat penilaian.
Masalahnya, jalan pintas ini sering membawa kita ke kesimpulan yang salah.
Berikut beberapa yang paling umum:
1. Persepsi Selektif
Ini adalah kecenderungan kita untuk hanya melihat dan
menginterpretasikan informasi yang sesuai dengan minat, latar belakang, dan
keyakinan kita.
Misalnya, seorang manajer keuangan akan lebih fokus pada
masalah anggaran ketika mengevaluasi kinerja perusahaan, sementara manajer
marketing lebih concern dengan strategi branding. Mereka berdua melihat
perusahaan yang sama, tapi fokusnya berbeda.
2. Efek Halo
Pernahkah kamu langsung menganggap seseorang yang tampan
atau cantik pasti pintar dan baik? Atau karena seseorang pernah berbuat
kesalahan kecil, kamu langsung menganggap semua aspek dirinya buruk?
Hal itu disebut dengan namanya efek halo. Kita membuat
gambaran umum tentang seseorang hanya berdasarkan satu karakteristik yang
menonjol.
Dalam konteks rekrutmen, efek halo ini sangat berbahaya.
Seorang kandidat yang berpenampilan menarik dan komunikatif bisa mendapat
penilaian lebih baik meskipun kompetensi teknisnya biasa-biasa saja.
Sebaliknya, kandidat yang introvert dan kurang rapi bisa
dianggap tidak kompeten, padahal skill-nya mumpuni.
3. Efek Kontras
Bayangkan kamu sedang melakukan interview lima kandidat
dalam satu hari. Kandidat pertama sangat buruk, kandidat kedua biasa saja.
Karena ada kontras dengan kandidat pertama, kandidat kedua
akan terlihat lebih baik dari yang sebenarnya. Inilah efek kontras evaluasi
kita terhadap seseorang dipengaruhi oleh perbandingan dengan orang lain yang
baru kita temui.
Proyeksi adalah ketika kita menganggap orang lain memiliki
karakteristik yang sama dengan kita. Kalau kamu orang yang jujur, kamu
cenderung percaya orang lain juga jujur. Ini bisa jadi masalah kalau kamu
terlalu naif dan akhirnya dimanfaatkan.
Sementara stereotip adalah menilai seseorang berdasarkan
kelompok dimana dia tergabung entah itu berdasarkan ras, agama, gender, atau
bahkan jurusan kuliah.
"Anak teknik pasti introvert," atau "Orang
marketing pasti suka ngomong," adalah contoh stereotip yang sering tidak
akurat tapi masih banyak dipakai.
Aplikasi Persepsi dalam Dunia Kerja
Setelah memahami bagaimana persepsi bekerja, sekarang mari
kita lihat dampaknya dalam berbagai aspek organisasi:
Interview adalah gerbang utama masuk ke dunia kerja, tapi
sayangnya proses ini sangat rawan sekali terjadi bias persepsi.
Penelitian menunjukkan bahwa pewawancara sering membuat
keputusan dalam 4-5 menit pertama, dan sisa waktu interview hanya digunakan
untuk mengkonfirmasi kesan awal tersebut. Ini sangat tidak adil bagi kandidat
yang mungkin gugup di awal tapi sebenarnya sangat kompeten.
Efek halo, stereotip, dan bias konfirmasi semua bermain
dalam proses interview. Makanya, banyak perusahaan modern sekarang menggunakan
interview terstruktur dengan pertanyaan standar untuk mengurangi subjektivitas.
2. Harapan Kinerja
Ada fenomena menarik yang disebut "self-fulfilling
prophecy" atau ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya. Kalau seorang
manajer percaya bahwa karyawan tertentu akan berkinerja baik, dia akan
memberikan lebih banyak kesempatan, feedback positif, dan dukungan.
Akibatnya, karyawan tersebut memang berkinerja baik akan
tetapi bukan karena kemampuannya yang istimewa, tapi karena treatment yang dia
terima.
Sebaliknya, kalau manajer sudah punya persepsi negatif
terhadap karyawan tertentu, dia akan lebih kritis, memberikan tugas yang kurang
menantang, dan kurang memberi dukungan. Hasilnya? Karyawan tersebut memang jadi
berkinerja buruk. Persepsi awal menjadi kenyataan.
3. Evaluasi Kinerja
Masa depan karir seseorang baik itu promosi, kenaikan gaji,
bahkan kelanjutan pekerjaan akan sangat bergantung pada evaluasi kinerja.
Namun masalahnya, evaluasi ini sangat subjektif dan
dipengaruhi persepsi atasan. Efek recency hanya mengingat kejadian terakhir,
efek halo, dan berbagai bias lain bisa membuat evaluasi menjadi tidak adil.
Makanya, sistem evaluasi kinerja yang baik harus berbasis
data objektif, menggunakan multiple raters, dan dilakukan secara berkala bukan
hanya sekali setahun.
Hubungan Persepsi dengan Pengambilan Keputusan
Setiap hari kita membuat keputusan mulai dari yang sepele
seperti mau makan apa, sampai yang berdampak besar seperti memilih karir atau
investasi.
Keputusan adalah pilihan yang dibuat dari dua alternatif
atau lebih, dan muncul sebagai reaksi terhadap suatu masalah yaitu ketidaksesuaian
antara kondisi saat ini dengan yang diinginkan.
Nah, inilah kaitannya dengan persepsi. Setiap keputusan
membutuhkan interpretasi dan evaluasi informasi. Dan interpretasi itu sangat
individual dipengaruhi oleh bagaimana kita mempersepsikan situasi.
Dua orang bisa menghadapi masalah yang sama tapi membuat
keputusan yang sangat berbeda karena persepsi mereka berbeda.
Dalam teori ideal, pembuat keputusan yang baik adalah yang
rasional membuat pilihan yang konsisten dan memaksimalkan nilai dalam batasan
tertentu.
Model pengambilan keputusan rasional mengikuti enam langkah
sistematis yaitu menetapkan masalah, mengidentifikasi kriteria keputusan,
mengalokasikan bobot pada kriteria, membuat berbagai alternatif, mengevaluasi
alternatif, dan memilih alternatif terbaik.
Mungkin jika kamu membacanya terdengar mudah, bukan? Akan
tetapi kenyataannya, kita jarang sekali membuat keputusan yang benar-benar
rasional.
Realitas Pengambilan Keputusan: Kenapa Kita Tidak
Serasional yang Kita Kira
Herbert Simon, seorang ekonom peraih Nobel, memperkenalkan
konsep "bounded rationality" atau rasionalitas yang terbatas. Dia
berpendapat bahwa manusia tidak bisa sepenuhnya rasional karena keterbatasan
kognitif kita.
Karena pada kenyataannya kita sering kali tidak punya waktu,
energi, atau kemampuan untuk mengumpulkan semua informasi yang relevan,
menganalisis semua alternatif, dan memprediksi semua konsekuensi.
Yang kita lakukan adalah menyederhanakan masalah. Kita
mencari solusi yang "cukup baik" alih-alih solusi yang optimal. Dan
dalam proses ini, berbagai bias kognitif masuk dan mempengaruhi keputusan kita.
Bias dan Kesalahan Umum dalam Pengambilan Keputusan
Mari kita bahas bias-bias yang paling sering terjadi dan
bisa kamu kenali dalam keputusan sehari-hari:
Pertama adalah kepercayaan diri yang berlebihan pada
kemampuan kita sendiri untuk membuat keputusan yang baik. Ini terutama
berbahaya ketika kita berada di luar area keahlian.
Misalnya, karena kamu jago main game strategy, kamu merasa
bisa juga membuat strategi bisnis yang sangat mumpuni padahal dua hal itu
sangat berbeda.
Penelitian menunjukkan bahwa 80% orang merasa mereka
termasuk dalam 50% pengemudi terbaik. Jelas secara matematis ini tidak mungkin.
kemudian yang kedua adalah kecenderungan kita untuk terlalu terpaku pada informasi pertama yang kita terima, dan gagal menyesuaikan dengan informasi berikutnya.
Dalam negosiasi gaji misalnya, angka pertama yang disebutkan
akan jadi "jangkar" dan mempengaruhi hasil akhir negosiasi. Kalau
pewawancara bertanya "Ekspektasi gaji kamu berapa?" dan kamu menyebut
angka terlalu rendah, itu jadi jangkar yang merugikan.
Ketiga adalah bias yang paling berbahaya
karena membuat kita resisten terhadap perubahan. Kita cenderung mencari dan
mempercayai informasi yang mengkonfirmasi keyakinan kita, sambil mengabaikan
informasi yang bertentangan.
Misalnya, kalau kamu sudah percaya bahwa produk tertentu
bagus, kamu akan lebih memperhatikan review positif dan menganggap review
negatif sebagai pengecualian.
Selanjutanya yang keempat yakni ketersediaan, bias ini membuat kita mendasarkan penilaian
pada informasi yang mudah diingat atau baru saja kita dengar.
Contohnya setelah kita mendengar berita kecelakaan pesawat,
kita jadi merasa pesawat tidak aman, nyatanya secara statistik padaha pesawat
jauh lebih aman daripada mobil. Informasi yang dramatis dan emosional lebih
mudah diingat, makanya bias ini sangat kuat.
Bias ini merupakan kondisi ketika kita terus
melanjutkan keputusan yang salah meskipun sudah ada banyak bukti negatif.
Contohnya "Sudah terlanjur investasi waktu dan uang banyak, sayang kalau
berhenti sekarang."
Hal itulah yang disebut juga sunk cost fallacy artinya kita tidak
bisa melepaskan apa yang sudah kita investasikan, meskipun itu sebenarnya sudah
hilang.
Bias yang keenam risk avertion membuat kita lebih memilih keuntungan
yang pasti meskipun kecil, daripada mengambil risiko untuk keuntungan yang
lebih besar.
Misalnya, diberi pilihan seperti 100% dapat Rp 1 juta, atau
50% kesempatan dapat Rp 3 juta. Secara matematis, pilihan kedua lebih
menguntungkan, tapi kebanyakan orang akan memilih yang pertama.
Kemudian yang terakhir adalah hindsight bias merupakan kecenderungan kita untuk merasa bahwa kita "sudah tahu dari awal" setelah suatu peristiwa terjadi.
Contonya seperti "Kan aku sudah bilang!" padahal sebelumnya kamu sama sekali tidak
yakin. Bias ini berbahaya karena membuat kita overconfident dan tidak belajar
dari kesalahan.
Peran Intuisi dalam Keputusan
Meskipun banyak bias yang perlu diwaspadai, bukan berarti
intuisi selalu salah. Intuisi adalah pengambilan keputusan dengan pertimbangan
non rasional yaitu proses bawah sadar yang berasal dari pengalaman yang telah
tersaring.
Seorang dokter berpengalaman bisa dengan cepat mendiagnosis
penyakit hanya dari melihat gejala-gejala tertentu, tanpa harus melalui proses
analitis panjang.
Sementara seorang musisi bisa langsung tahu nada yang
dimainkan salah tanpa perlu mengukur frekuensinya. Ini adalah intuisi yang
dibangun dari ribuan jam latihan dan pengalaman.
Kunci menggunakan intuisi dengan baik adalah dengan gunakan
di area dimana kamu punya pengalaman yang cukup, dan tetap validasi dengan data
objektif kalau memungkinkan.
Batasan Organisasional yang Mempengaruhi Keputusan
Dalam konteks organisasi, keputusan individu tidak
sepenuhnya bebas. Ada berbagai batasan yang mempengaruhi:
Ini menentukan kriteria sukses dan
mempengaruhi keputusan manajer. Kalau manajer dievaluasi berdasarkan profit
jangka pendek, mereka akan membuat keputusan yang fokus pada hasil cepat,
meskipun mungkin merugikan dalam jangka panjang.
Sistem reward yang mengarahkan perilaku. contohnya kalau bonus
diberikan berdasarkan penjualan individual, jangan heran kalau kerjasama tim
jadi berkurang karena semua orang fokus pada target pribadi.
Peraturan yang menstandarisasi perilaku dan
membatasi pilihan. Ada SOP, kebijakan perusahaan, dan regulasi yang harus
diikuti, mau tidak mau.
4. Batasan waktu
Adanya batasan waktu dapat membuat kita tidak bisa
mempertimbangkan semua alternatif dengan matang. Deadline yang ketat memaksa
kita membuat keputusan cepat, yang rawan kesalahan.
5. Sejarah keputusan masa lalu
Adanya pengalaman keputusan di masalalu akan membentuk path
dependency yang pada akhirnya membuat organisasi cenderung mengikuti pola yang sudah ada, meskipun
mungkin sudah tidak optimal lagi.
Cara Mengurangi Bias dan Meningkatkan Kualitas Keputusan
Setelah memahami semua jebakan dalam proses persepsi dan
pengambilan keputusan, apa yang bisa kita lakukan? Berikut beberapa strategi
praktis:
1. Fokus pada Tujuan Akhir
Sering kali kita terjebak pada detail atau emosi sesaat dan
lupa tujuan utama. Sebelum membuat keputusan penting, tanyakan pada diri
sendiri: "Apa sebenarnya yang ingin saya capai? Apakah pilihan ini sesuai
dengan tujuan jangka panjang saya?"
2. Aktif Mencari Informasi yang Bertentangan
Ini adalah antidot untuk confirmation bias. Alih-alih hanya
mencari bukti yang mendukung keyakinan kita, paksa diri untuk mencari
perspektif berbeda.
Ajak orang yang punya pandangan berbeda untuk berdiskusi.
Baca argumen dari sisi yang berlawanan. Devil's advocate ini sangat penting
untuk menghindari groupthink dan keputusan yang sempit.
3. Jangan Mencoba Memprediksi Kebetulan
Randomness error membuat kita mencoba mencari pola dalam
hal-hal yang sebenarnya acak. Jangan buang waktu dan energi untuk hal-hal yang
tidak bisa diprediksi. Fokus pada apa yang bisa kamu kontrol dan pengaruhi.
4. Perbanyak Pilihan
Jangan terpaku pada satu atau dua alternatif. Semakin banyak
opsi yang kamu pertimbangkan tapi dalam batas wajar, akan semakin besar
kemungkinan kamu menemukan solusi yang lebih baik.
Dengan Brainstorming, mind mapping, dan diskusi kelompok
bisa membantu menghasilkan alternatif lebih banyak.
5. Gunakan Data dan Framework
Alih-alih mengandalkan perasaan semata, gunakan data
objektif. Buat matriks keputusan dengan kriteria yang jelas. Diskusikan dengan
orang lain yang punya keahlian relevan. Dengan melakukan itu akan memberi waktu
untuk pikiran bawah sadar memproses informasi, ini terbukti efektif.
Kreativitas adalah kemampuan menghasilkan ide-ide baru dan
bermanfaat. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar orang punya potensi
kreatif, tapi perlu dilatih.
Caranya dengan berada dalam suasana hati yang baik karena mood
positif meningkatkan kreativitas, bergaul dengan orang-orang kreatif, dan
ekspos diri dengan berbagai pengalaman baru.
Model kreativitas komponen menunjukkan bahwa kreativitas
muncul dari kombinasi tiga hal yaitu keahlian, kemampuan berpikir kreatif, dan
motivasi intrinsik (passion dan minat genuine).
Etika dalam Pengambilan Keputusan
Keputusan yang baik bukan hanya yang menguntungkan secara
pribadi atau bisnis, tapi juga yang etis. Ada tiga pendekatan utama dalam
kriteria keputusan etis:
Pendekatan ini menekankan bahwa keputusan
harus memberikan kebaikan terbesar untuk jumlah terbanyak. Ini adalah
pendekatan "greatest good for the greatest number."
Misalnya, kebijakan pajak progresif dianggap etis karena
mengambil lebih banyak dari yang kaya untuk membantu yang miskin, sehingga
secara keseluruhan kesejahteraan masyarakat meningkat.
Fokus dari pendekatan ini adalah pada perlindungan dan
penghormatan hak dasar individu. Keputusan yang melanggar hak asasi manusia
tidak boleh diambil, meskipun mungkin menguntungkan mayoritas.
Pendekatan berbasis hal adalah penyeimbang dari pendekatan
utilitarian yang bisa mengabaikan minoritas.
sebuah pendekatan yang menekankan pada penerapan aturan
secara adil dan tidak memihak. Prinsipnya adalah orang yang berada dalam
situasi sama harus diperlakukan sama.
Artinya dalam pendekatan ini suatu diskriminasi berdasarkan
ras, gender, agama, atau faktor tidak relevan lainnya adalah tidak etis.
Dalam praktiknya, keputusan etis sering memerlukan
pertimbangan dari ketiga perspektif ini. Kadang ketiga pendekatan ini sejalan,
tapi ada kalanya mereka bertentangan dan kita harus membuat trade-off yang
sulit.
Setelah menjelajahi kompleksitas persepsi dan pengambilan
keputusan, satu hal yang jelas yaitu tidak ada yang namanya keputusan yang
benar-benar objektif. Kita semua punya bias, keterbatasan kognitif, dan filter
persepsi masing-masing.
Tapi menyadari keterbatasan ini justru adalah langkah
pertama untuk menjadi decision maker yang lebih baik. Ketika kamu tahu bahwa
otak kamu cenderung melakukan confirmation bias, kamu bisa secara sadar mencari
perspektif yang berbeda.
Dan ketika kamu tahu tentang anchoring bias, kamu bisa lebih
hati-hati dalam negosiasi. Ketika kamu tahu tentang efek halo, kamu bisa lebih
adil dalam menilai orang lain.
Kualitas hidup kita secara personal maupun profesional akan sangat
ditentukan oleh kualitas keputusan yang kita buat.
Dan di tengah dunia yang semakin kompleks dengan informasi
yang melimpah, kemampuan untuk memfilter noise, mengenali bias, dan membuat
keputusan yang berkualitas menjadi skill yang sangat berharga.




Posting Komentar