Apa Itu Perumusan Kebijakan Publik? Mulai dari Model, Nilai, Konteks hingga Aktor di Belakangnya

Pernahkah kamu bertanya-tanya bagaimana pemerintah memutuskan untuk membuat kebijakan tertentu? Kenapa ada kebijakan yang berjalan mulus, tapi ada juga yang menuai kontroversi?

Setiap hari, kita merasakan dampak dari kebijakan publik, mulai dari aturan lalu lintas, subsidi BBM, hingga kurikulum pendidikan. Tapi di balik setiap kebijakan tersebut, ada proses panjang yang melibatkan banyak pihak dan pertimbangan.

Nah, artikel ini akan mengupas tuntas tentang perumusan kebijakan publik, mulai dari konsep dasar hingga faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Kalau kamu penasaran bagaimana sebuah kebijakan lahir dan ingin memahami dinamika di balik keputusan-keputusan penting negara, yuk simak pembahasan lengkapnya!

Perumusan Kebijakan Publik

Apa Itu Kebijakan Publik?

Sebelum masuk ke perumusan kebijakan, kita perlu paham dulu apa sih sebenarnya kebijakan publik itu? Secara sederhana, kebijakan publik adalah serangkaian keputusan atau tindakan yang diambil oleh pemerintah untuk mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat.

Nah, Kebijakan ini bisa menyentuh berbagai aspek kehidupan mulai dari pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan, keamanan, dan lain-lain.

Yang menarik, kebijakan publik bukan sekadar peraturan yang dibuat sembarangan. Ada proses kompleks di baliknya yang melibatkan analisis mendalam, pertimbangan berbagai faktor, hingga evaluasi dampak.

Idealnya kebijakan yang baik harus mampu memberikan solusi efektif terhadap masalah masyarakat sambil mempertimbangkan ketersediaan sumber daya dan risiko yang mungkin muncul.

Pembentukan vs Perumusan Kebijakan: Apa Bedanya?

Banyak orang sering mengira bahwa pembentukan kebijakan dan perumusan kebijakan itu sama. Namun nyatanya, keduanya adalah dua tahap yang berbeda dalam siklus kebijakan publik.  Agar lebih paham mari kita bedah satu per satu.

Pembentukan Kebijakan Publik

Pertama pembentukan kebijakan adalah tahap awal di mana pemerintah atau organisasi mengidentifikasi adanya masalah dan memutuskan untuk mengembangkan kebijakan sebagai solusinya.

Pada tahap ini, aktivitas yang dilakukan meliputi mengidentifikasi masalah atau isu yang perlu ditangani, mengumpulkan data dan informasi awal, menentukan berbagai alternatif kebijakan yang mungkin, melakukan analisis dampak awal, dan konsultasi awal dengan berbagai pihak terkait.

Proses ini sangat penting karena menentukan apakah suatu masalah layak untuk dibuatkan kebijakan atau tidak. Tidak semua masalah otomatis menjadi agenda kebijakan, loh!

Pembentukan kebijakan melibatkan banyak pihak yang berbeda, seperti pemerintah, organisasi swasta, kelompok masyarakat, dan individu-individu yang terpengaruh oleh kebijakan tersebut.

Perumusan Kebijakan Publik

Sementara itu, perumusan kebijakan adalah tahap lanjutan setelah pembentukan, di mana pemerintah mulai menyusun rencana atau kerangka kerja kebijakan yang konkret.

Tahap perumusan meliputi menetapkan tujuan kebijakan secara spesifik, mengevaluasi dan memilih alternatif terbaik, mengadakan konsultasi publik yang lebih luas, menetapkan prioritas dan alokasi sumber daya, serta merumuskan rencana tindakan detail.

Jadi bisa dibilang, pembentukan kebijakan lebih berfokus pada "apakah masalah ini perlu diselesaikan?", sedangkan perumusan kebijakan menjawab pertanyaan "bagaimana cara kita menyelesaikannya?".

Perumusan kebijakan publik harus dilakukan secara partisipatif, terbuka, dan melibatkan berbagai pihak yang terkait dengan isu tersebut, seperti masyarakat sipil, pengusaha, akademisi, dan pihak-pihak lain yang memiliki pengalaman atau kepentingan dalam masalah yang akan diatasi.

Memahami perbedaan ini penting agar kita tahu bahwa kebijakan publik bukan sekadar keputusan spontan, melainkan hasil dari proses berjenjang yang sistematis.

Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan dapat mencapai tujuan yang diinginkan, meminimalkan dampak negatif, serta dapat diimplementasikan secara efektif dan diterima oleh publik.

Model Perumusan Kebijakan Publik

14 Model Perumusan Kebijakan Publik yang Perlu Kamu Tahu

Nah dalam praktiknya, ada berbagai pendekatan atau model yang digunakan untuk merumuskan kebijakan. Setiap model punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, serta cocok untuk situasi yang berbeda-beda. Berikut adalah beberapa model perumusan kebijakan:

1. Model Rational-Comprehensive

Model ini mengandalkan pemikiran yang super rasional dan komprehensif. Sederhananya bayangkan saja kamu sedang membuat keputusan tapi dengan semua informasi yang sudah lengkap di tangan.

Model ini didasarkan atas teori ekonomi atau konsep manusia ekonomi yang menekankan pada pembuatan keputusan yang rasional dengan bermodalkan pada komprehensifitas informasi dan keahlian pembuatan keputusan.

Dalam model ini, konsep rasionalitas sama dengan konsep efisiensi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa suatu kebijakan yang rasional adalah kebijakan yang sangat efisien, dimana rasio antara nilai yang dikorbankannya adalah positif dan lebih tinggi dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain.

Model ini mengumpulkan semua informasi yang tersedia, menganalisis semua alternatif yang mungkin, memilih alternatif paling efisien dengan cost-benefit terbaik, dan fokusnya ada pada rasionalitas serta efisiensi maksimal.

Sebenarnya secara teori model ini sangat ideal, tapi sayangnya dalam praktiknya sering kali sulit untuk diterapkan dikarenakan keterbatasan waktu, informasi, hingga sumber daya.

Hasil dari proses pembuatan kebijakan dengan model ini adalah keputusan yang rasional, yakni suatu keputusan yang dapat mencapai suatu tujuan yang paling efektif.

2. Model Incrementalism (Bertahap)

Kalau model rasional-komprehensif bisa dibilang terlalu "sempurna", model inkremental lebih realistis. Model ini memandang kebijakan publik sebagai suatu kelanjutan kegiatan-kegiatan pemerintah dimasa lalu dengan hanya mengubahnya sedikit-sedikit.

Model inkremental adalah kritik dan perbaikan terhadap model rasional komprehensif yang mengakui bahwa perubahan besar itu sulit, jadi lebih baik melakukan perubahan kecil-kecil secara bertahap.

Karakteristik keputusan yang inkremental adalah pembuatan kebijakan yang bersifat mengobati dan lebih diarahkan pada pemecahan masalah-masalah sosial yang konkrit yang ada sekarang, bukan untuk meningkatkan pencapaian tujuan-tujuan sosial di masa yang akan datang.

Kebijakan baru adalah modifikasi dari kebijakan lama dengan perubahan yang dilakukan sedikit demi sedikit, fokus pada pemecahan masalah konkrit yang ada sekarang, dan lebih aman serta minim risiko.

Contoh nyatanya adalah kebijakan kenaikan upah minimum regional atau UMR yang dilakukan secara bertahap setiap tahun, tidak secara langsung naik drastis.

3. Model Mixed Scanning (Pengamatan Terpadu)

Model ini adalah "jalan tengah" yang menggabungkan keunggulan model rasional-komprehensif dan inkremental. Model hibrida ini merupakan gabungan unsur-unsur kebaikan yang ada pada kedua model sebelumnya. Fleksibilitasnya membuatnya populer di kalangan pembuat kebijakan.

Pendekatan ini memanfaatkan dua macam pendekatan sebelumnya secara fleksibel, sangat tergantung dari masalah dan situasinya. Untuk masalah besar dan strategis digunakan pendekatan rasional-komprehensif bila penjelajahan dan pengamatan yang luas diperlukan.

Sementara untuk masalah teknis dan detail digunakan pendekatan inkremental bila pengamatan yang mendetail pada suatu sasaran tertentu diperlukan, disesuaikan dengan konteks dan urgensi masalah.

Melalui pendekatan mixed-scanning ini  menyadarkan kita tentang adanya kenyataan penting bahwa keputusan-keputusan tidak selalu sama baik ruang lingkup maupun dampaknya, sehingga pendekatan pembuatan keputusan berbeda diperlukan untuk jenis keputusan yang berbeda pula.

4. Model Institusional

Model ini fokus pada peran lembaga-lembaga pemerintah dalam membuat kebijakan. Model institusional adalah model tradisional yang dalam proses pembuatan kebijakan publik dimana fokusnya atau pusat perhatiannya terletak pada struktur organisasi pemerintah.

Hal ini disebabkan karena kegiatan-kegiatan politik berpusat pada lembaga-lembaga pemerintah seperti lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif baik pada pemerintah pusat, regional, dan lokal.

Terdapat hubungan yang kuat antara kebijakan publik dan lembaga-lembaga pemerintah, hal ini karena sesuatu kebijakan tidak dapat menjadi kebijakan publik yang sah kalau tidak dirumuskan, disahkan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintahan.

Model ini menekankan struktur organisasi pemerintahan, prosedur formal pembuatan kebijakan, otoritas dan legitimasi lembaga negara, serta hubungan antar lembaga pemerintah.

5. Model Elit-Massa

Model ini punya pandangan yang cukup kontroversial dimana kebijakan publik sebenarnya lebih mencerminkan keinginan sekelompok elit yang berkuasa, bukan aspirasi rakyat luas.

Model ini memandang administrator negara bukan sebagai abdi rakyat tetapi lebih sebagai kelompok-kelompok kecil yang telah mapan.

Kelompok elit yang bertugas membuat dan melaksanakan kebijakan digambarkan dalam model ini sebagai kelompok yang mampu bertindak dalam suatu lingkungan yang ditandai dengan sikap massa yang apatis dan kerancuan informasi, sehingga massa menjadi lebih pasif.

Kebijakan publik mengalir dari atas ke bawah, yaitu dari golongan elite ke golongan massa. Sederhananya hasil kebijakan ini merupakan perwujudan keinginan-keinginan utama dan nilai-nilai golongan elit yang berkuasa.

Model elite-massa sering dikritik karena dianggap tidak demokratis, namun sayangnya dalam realita yang ada kebijakan seperti ini memang kadang  terjadi di beberapa negara.

6. Model Kelompok

Berlawanan dengan model elit-massa, model kelompok melihat kebijakan sebagai hasil tarik-menarik kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat.

Model ini menganut paham kelompoknya dari David B. Truman yang menyatakan bahwa interaksi di antara kelompok-kelompok adalah kenyataan politik.

Individu-individu yang memiliki kepentingan yang sama akan bergabung secara formal maupun informal ke dalam kelompok kepentingan yang dapat mengajukan dan memaksakan kepentingan-kepentingannya kepada pemerintah.

Model kelompok melihat kebijakan publik sebagai ekuilibrium yang dicapai sebagai hasil perjuangan kelompok. Untuk menjaga perimbangan tersebut, tugas sistem politik adalah menengahi konflik yang terjadi di antara kelompok-kelompok tersebut.

Kelompok kepentingan yang berpengaruh dapat mempengaruhi kebijakan publik, dengan tingkat pengaruh ditentukan oleh jumlah anggota, harta kekayaan, kekuatan dan kebaikan organisasi, hubungan yang erat dengan para pembuat keputusan, hingga kohesi intern para anggotanya.

7. Model Sistem Politik

Model selanjutnya yakni model sistem politik, model ini menggunakan pendekatan sistem yang melihat kebijakan sebagai output dari proses politik yang kompleks.

Model ini didasarkan pada konsep-konsep teori informasi dan memandang kebijakan publik sebagai respons suatu sistem politik terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan seperti sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan geografi yang ada di sekitarnya.

Konsep sistem menunjuk pada seperangkat lembaga dan aktivitas-aktivitas politik dalam masyarakat sehingga model ini memandang kebijakan sebagai hasil dari sistem politik yang berfungsi mengubah tuntutan atau dukungan menjadi kebijakan yang otoritatif bagi seluruh anggota masyarakat.

Mekanisme kerjanya dimulai dari input berupa tuntutan dan dukungan dari masyarakat, proses pengolahan input oleh sistem politik, output berupa kebijakan publik yang dihasilkan, dan feedback berupa respons masyarakat terhadap kebijakan.

Penggunaan model ini cocok untuk memahami bagaimana faktor lingkungan mempengaruhi kebijakan.

8. Model Proses

Model ini memandang pembuatan kebijakan sebagai serangkaian aktivitas yang berurutan dan sistematis. Di dalam model ini, para pengikutnya menerima asumsi bahwa politik merupakan sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses.

Model proses biasanya dimulai dari pendefinisian masalah atau isu kebijakan, analisis permasalahan mendalam, merumuskan alternatif, melakukan asesmen dan mengembangkan kriteria evaluasi kinerja, kemudian merumuskan kesimpulan.

Hasil kesimpulan ini kemudian berubah menjadi kebijakan publik untuk kemudian dilaksanakan guna memberikan hasil yang diharapkan.

Tahapan umumnya meliputi pendefinisian masalah, analisis permasalahan, perumusan alternatif solusi, asesmen dan evaluasi alternatif, pengambilan keputusan, implementasi, dan evaluasi hasil. Model proses sangat praktis dan sering digunakan dalam pelatihan kebijakan publik.

9. Model Demokratis

Model ini menekankan partisipasi maksimal dari semua pihak yang terkena dampak kebijakan. Model ini dapat dikatakan sebagai "Model Demokratis" karena menghendaki agar setiap "pemilik hak demokrasi" diikut-sertakan sebanyak-banyaknya.

Sesuai dengan prinsip good governance yang menghendaki transparansi dan akuntabilitas, model ini biasanya diperkaitkan dengan implementasi good governance bagi pemerintahan yang mengamanatkan agar dalam membuat kebijakan, para konstituen dan beneficiaries diakomodasi keberadaannya.

Keunggulan model ini adalah kebijakan lebih legitimate karena melibatkan banyak pihak, implementasi lebih mudah karena ada ownership bersama, dan mengurangi resistensi masyarakat.

Namun kelemahannya ada pada prosesnya yang  lambat dan memakan waktu, sulit untuk masalah yang urgent atau darurat, dan bisa terjadi deadlock jika ada banyak kepentingan bertentangan.

Sebenarnya model ini baik namun sayangnya kurang efektif dalam mengatasi masalah-masalah yang sifatnya kritis, darurat, atau dalam kondisi kelangkaan sumber daya.

Jika berhasil dilaksanakan, model ini sangat efektif dalam implementasinya karena setiap pihak mempunyai kewajiban untuk ikut serta mencapai keberhasilan kebijakan.

10. Model Strategis

Model ini mengadopsi pendekatan perencanaan strategis dari dunia bisnis dan mengaplikasikannya untuk organisasi publik. Meskipun disebut "strategis", pendekatan ini tidak mengatakan bahwa pendekatan lain "tidak strategis".

Inti dari model strategis adalah bahwa pendekatan ini menggunakan rumusan runtutan perumusan strategi sebagai basis perumusan kebijakan.

Salah satu rujukan yang banyak digunakan adalah John D. Bryson, seorang pakar perumusan strategis bagi organisasi non-bisnis. Model ini mensyaratkan pengumpulan informasi secara luas, eksplorasi alternatif, dan menekankan implikasi masa depan dengan keputusan sekarang.

Elemen kuncinya meliputi analisis lingkungan internal dan eksternal, perumusan visi dan misi, penetapan tujuan strategis, identifikasi isu-isu strategis, formulasi strategi, serta implementasi dan evaluasi. Model ini populer karena strukturnya yang jelas dan mudah dipahami.

11. Model Game Theory (Teori Permainan)

Model ini melihat perumusan kebijakan sebagai "permainan" strategis di mana setiap pemain saling bereaksi terhadap keputusan satu sama lain. Model seperti ini biasanya dicap sebagai model konspiratif.

Model teori permainan mulai mengemuka setelah berbagai pendekatan yang sangat rasional tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul yang sulit diterangkan dengan fakta-fakta yang tersedia, karena sebagian besar dari kepingan fakta tersebut tersembunyi erat.

Gagasan pokok dari kebijakan dalam model ini adalah formulasi kebijakan berada dalam situasi kompetisi yang intensif, dan para aktor berada dalam situasi pilihan yang tidak independen ke dependen melainkan situasi pilihan yang sama-sama bebas atau independen.

Sama seperti sebuah permainan catur, setiap langkah akan bertemu dengan kombinasi langkah lanjut dan langkah balasan yang masing-masing relatif bebas.

Inti dari teori permainan yang terpenting adalah bahwa ia mengakomodasi kenyataan paling riil, bahwa setiap negara, setiap pemerintahan, setiap masyarakat tidak hidup dalam vakum.

Walaupun biasanya model ini dicap sebagai model konspiratif namun sebenarnya model ini sangat berguna untuk kebijakan luar negeri atau kebijakan yang melibatkan banyak pihak dengan kepentingan berbeda.

12. Model Pilihan Publik (Public Choice)

Model ini menerapkan prinsip ekonomi pada perilaku politik. Model public choice ini juga dinamai sebagai social choice atau rational choice, yang intinya melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi keputusan kolektif dan individu-individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut.

Asumsi dasarnya yakni semua orang dianggap  merupakan homo economicus yang berusaha memaksimalkan kepentingan pribadi. Akar kebijakan ini adalah teori ekonomi pilihan publik yang mengandaikan bahwa manusia memiliki kepentingan-kepentingan yang harus dipuaskan.

Model ini dikembangkan atas dasar teori dari Anthony Downs tentang Economic Theory of Democracy yang mengasumsikan bahwa para pemilih dan politisi berusaha untuk memaksimalkan keuntungan atas preferensi masing-masing.

Karakteristiknya para politisi ingin memaksimalkan suara pemilih, birokrat ingin memaksimalkan anggaran dan kekuasaan, pemilih ingin memaksimalkan manfaat dari kebijakan, dan kebijakan adalah hasil tawar-menawar kepentingan.

Model "public choice" banyak dikritik karena memanfaatkan ketidaktahuan publik untuk menetapkan kebijakan, tapi cukup akurat menggambarkan realitas politik di banyak negara.

13. Model Deliberatif

Model ini menekankan dialog, musyawarah, dan komunikasi intensif antara pemerintah dan warga dalam merumuskan kebijakan. Kebijakan deliberatif adalah kebijakan yang dirumuskan melalui proses pembahasan intensif antara pemerintah dan warganya.

Intinya, setiap rumusan kebijkan harus dikomunikasikan dan melibatkan seluruh unsur dan warga yang akan menanggung konsekuensi dari sebuah kebijakan.

Model "deliberatif", atau juga disebut sebagai model "jejaring", "kolaboratif", "argumentatif", ataupun "discursive", jauh berbeda dengan model-model teknokratik.

Dalam model ini, analisis kebijakan berperan "hanya" sebagai fasilitator agar masyarakat menemukan sendiri keputusan kebijakan atas dirinya sendiri.

Prinsip deliberasinya adalah setiap suara harus didengar, keputusan melalui diskusi terbuka dan argumentasi, pemerintah sebagai fasilitator bukan diktator, dan konsensus dibangun melalui proses dialogis.

Peran pemerintah di sini lebih sebagai legalisator dari "kehendak publik", sementara peran analisis kebijakan sebagai prosesor proses dialog publik agar menghasilkan keputusan publik untuk dijadikan sebagai kebijakan publik.

Model ini sangat ideal untuk masyarakat dengan tradisi musyawarah yang kuat, seperti Indonesia.

14. Model Keranjang Sampah (Garbage Can)

Model yang terakhir adalah model kebijakan "keranjang sampah" merupakan model kebijakan yang paling sulit dipertanggungjawabkan kebaikannya, tetapi paling banyak digunakan dan dilaksanakan oleh hampir semua negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia.

Nama modelnya memang aneh, tapi ini malah justu menggambarkan realitas pembuatan kebijakan yang memang kadang kala kacau dan tidak terstruktur.

Prosesnya dimulai dari ada keinginan politik tertentu dari penguasa, kemudian dicari-cari pembenaran atau alasan. Isu kebijakan "dilempar" ke publik dan efektif menghasilkan permasalahan acak dan partisipasi acak dari pemilih, politisi, birokrat, bahkan pelaku bisnis, LSM, dan akademisi.

Terjadi proses pembuatan kebijakan yang acak dengan diikuti munculnya rekomendasi berupa solusi-solusi kebijakan yang acak pula. Kemudian semuanya masuk dalam sebuah "keranjang sampah", dan dengan tiba-tiba, dengan cara sulap, lahirlah kebijakan publik.

Model ini sering dikritik karena tidak sistematis, akan tetapi realitasnya memang banyak kebijakan yang dibuat dengan cara seperti ini terutama di negara berkembang.

Nah, dari 14 model di atas, tidak ada yang paling benar atau paling salah. Semuanya tergantung pada konteks, jenis masalah, sumber daya yang tersedia, dan sistem politik yang berlaku. Pembuat kebijakan yang cerdas akan memilih model yang paling sesuai dengan situasi yang dihadapi.

Tahapan Perumusan Kebijakan Publik

Tahapan Perumusan Kebijakan: Dari Masalah Hingga Evaluasi

Setelah memahami berbagai model, sekarang kita masuk ke tahapan konkrit dalam merumuskan kebijakan. Proses ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan, ada urutan logis yang perlu diikuti.

Kebijakan publik merupakan sebuah proses yang terus menerus, karena itu yang paling penting adalah siklus kebijakan yang meliputi formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan.

1. Perumusan Masalah Kebijakan

Pertama perumusan masalah, Ini adalah tahap paling krusial. Kalau masalahnya salah diidentifikasi, solusinya juga akan meleset.

Pada prinsipnya, walaupun suatu peristiwa atau situasi tertentu dapat menimbulkan problem, tetapi agar hal itu menjadi masalah publik tidak hanya tergantung dari dimensi obyektifnya saja, tetapi juga secara subyektif, baik oleh masyarakat maupun para pembuat keputusan, dipandang sebagai suatu masalah yang patut dipecahkan atau dicarikan jalan keluarnya.

Langkah pertama yang harus dilakukan oleh setiap pembuat kebijakan adalah mengidentifikasikan problem yang akan dipecahkan kemudian membuat perumusan yang sejelas-jelasnya terhadap problem tersebut.

Yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi peristiwa atau kondisi yang bermasalah, memahami apakah ini benar-benar masalah publik, menentukan sifat dan dimensi masalah, serta membuat rumusan masalah yang jelas dan spesifik.

Kegiatan ini merupakan upaya untuk menentukan identitas masalah kebijakan dengan terlebih dahulu mengerti dan memahami sifat dari masalah tersebut sehingga akan mempermudah dalam menentukan sifat proses perumusan kebijakan.

Contohnya, "Kemacetan di Jakarta" adalah identifikasi masalah. Tapi rumusan yang lebih baik adalah "Jumlah kendaraan pribadi yang meningkat 10% per tahun menyebabkan kemacetan rata-rata 2 jam di jalan utama Jakarta pada jam sibuk."

2. Penyusunan Agenda Pemerintah

Tahap ke kedua penyusunan agenda, hal ini karena tidak semua masalah bisa langsung ditangani. Pemerintah perlu memprioritaskan masalah mana yang paling mendesak dan penting.

Oleh karena masalah publik yang telah diidentifikasi begitu banyak jumlahnya, maka para pembuat keputusan akan memilih dan menentukan problem mana yang seharusnya memperoleh prioritas utama untuk diperhatikan secara serius dan aktif.

Kriteria prioritas meliputi seberapa parah dampaknya bagi masyarakat, berapa banyak orang yang terdampak, apakah masalah ini mendesak, apakah ada sumber daya untuk mengatasinya, dan apakah ada dukungan politik.

Pada penyusunan agenda pemerintah biasanya mempunyai sifat yang khas, lebih konkrit dan terbatas jumlahnya dibanding daftar masalah yang ada di masyarakat.

3. Perumusan Usulan Kebijakan

Di tahap ini, mulai dirumuskan berbagai alternatif solusi untuk masalah yang sudah diidentifikasi. Tahap ini merupakan kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah.

Prosesnya meliputi identifikasi alternatif yang dilakukan untuk kepentingan pemecahan masalah, mendefinisikan dan merumuskan alternatif, menilai alternatif yakni pemberian bobot pada tiap-tiap alternatif, membandingkan alternatif berdasarkan kriteria tertentu, dan memilih alternatif yang memuaskan.

Misalnya untuk mengatasi kemacetan, alternatifnya bisa membangun MRT, membatasi kendaraan pribadi, memperluas jalan, atau kombinasi dari semuanya.

Setiap alternatif perlu didefinisikan secara detail, dinilai kelebihan dan kekurangannya, dibandingkan berdasarkan kriteria tertentu seperti efektivitas, biaya, waktu implementasi, dan dampak sosial, kemudian dipilih alternatif yang paling memuaskan untuk diimplementasikan.

4. Pengesahan Kebijakan

Setelah alternatif terbaik dipilih, kebijakan perlu disahkan secara resmi. Proses ini melibatkan aspek politik dan hukum. Sebagai suatu proses kolektif, pengesahan kebijakan merupakan proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip-prinsip yang diakui dan diterima.

Proses pengesahan suatu kebijakan biasanya diawali dengan kegiatan persuasion dan bargaining. Persuasion diartikan sebagai usaha-usaha untuk meyakinkan orang lain tentang sesuatu kebenaran atau nilai kedudukan seseorang, sehingga mereka mau menerimanya sebagai milik sendiri.

Sedangkan bargaining diterjemahkan sebagai suatu proses dimana dua orang atau lebih yang mempunyai kekuasaan atau otoritas mengatur atau menyesuaikan setidak-tidaknya sebagian tujuan-tujuan yang tidak mereka sepakati agar dapat merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama meskipun itu tidak terlalu ideal bagi mereka.

Tahapan pengesahan meliputi persuasi untuk meyakinkan berbagai pihak tentang pentingnya kebijakan, bargaining berupa negosiasi dan kompromi dengan berbagai kelompok kepentingan, pembahasan formal di lembaga legislatif, dan pengesahan resmi yang ditandatangani oleh pejabat berwenang. Proses ini bisa cepat atau lambat, tergantung kompleksitas isu dan dukungan politik yang ada.

5. Pelaksanaan Kebijakan (Implementasi)

Kebijakan yang sudah disahkan perlu dijalankan. Tahap ini melibatkan proses pelaksanaan kebijakan publik yang telah diambil pada tahap pengambilan keputusan.

Proses pelaksaan ini melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Akan tetapi di lapangan tahap implementasi sering kali lebih sulit dari perumusannya. Banyak kebijakan bagus di atas kertas gagal karena implementasinya yang buruk.

Faktor penentu keberhasilan meliputi kejelasan tujuan dan target kebijakan, sumber daya yang memadai seperti anggaran, SDM, dan infrastruktur, koordinasi antar lembaga pelaksana, dukungan dari pihak yang terdampak, serta sistem monitoring dan pengawasan.

6. Penilaian Kebijakan (Evaluasi)

Kemudian tahap terakhir tapi tidak kalah penting adalah mengevaluasi apakah kebijakan berhasil mencapai tujuannya. Tahap ini melibatkan proses evaluasi terhadap efektivitas kebijakan publik yang telah diimplementasikan.

Evaluasi ini dilakukan dengan cara mengukur sejauh mana kebijakan publik tersebut berhasil mencapai tujuannya dan memberikan manfaat yang diharapkan. Lalu aspek apa saja yang di evaluasi setelah implementasi?

Aspek yang dievaluasi meliputi efektivitas (apakah tujuan tercapai?), efisiensi (apakah penggunaan sumber daya optimal?), dampak (apa efek samping yang muncul?), kepuasan publik (apakah masyarakat puas?), dan keberlanjutan (apakah kebijakan bisa bertahan lama?).

Evaluasi ini dapat mencakup pengukuran kinerja, analisis dampak, dan pengukuran kepuasan masyarakat. Hasil evaluasi ini bisa menjadi masukan untuk memperbaiki kebijakan atau bahkan membuat kebijakan baru.

Enam tahapan ini membentuk siklus kebijakan yang berulang. Kebijakan yang baik selalu mengalami perbaikan dan penyesuaian berdasarkan evaluasi dan perubahan kondisi.

Aktor-aktor Kebijakan Publik

Siapa Saja Aktor dalam Perumusan Kebijakan?

Perumusan kebijakan bukan pekerjaan satu orang atau satu lembaga saja. Ada banyak aktor yang terlibat, baik yang resmi maupun tidak resmi.

Dalam membahas pemeran serta atau aktor-aktor dalam proses perumusan kebijakan, ada perbedaan yang cukup penting yang perlu diperhatikan antara negara-negara berkembang dengan negara-negara maju.

Di negara-negara berkembang, struktur pembuatan kebijakan cenderung lebih sederhana dibandingkan dengan negara-negara maju dimana perumusan kebijakan lebih dikendalikan oleh elit politik dengan pengaruh masyarakat luas yang sedikit.

 Sementara itu, di negara-negara maju seperti Eropa Barat dimana setiap warga negara mempunyai kepentingan terhadap kebijakan politik negaranya, kondisi ini akan mendorong struktur yang semakin kompleks.

Aktor-aktor atau pemeran serta dalam proses pembentukan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yakni para pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi. Mari kita kenali satu per satu.

Aktor Resmi

1. Badan-Badan Administrasi (Birokrasi)

Meskipun secara teori birokrasi hanya melaksanakan kebijakan, namun dalam praktiknya mereka punya peran yang besar dalam merumuskan sebuah kebijakan.

Sistem administrasi di seluruh dunia mempunyai perbedaan dalam hal karakteristik seperti ukuran, kerumitan, organisasi, struktur hierarkhis dan tingkat otonomi.

Walaupun doktrin mengatakan bahwa badan-badan administrasi dianggap sebagai badan pelaksana, namun telah diakui secara umum dalam ilmu politik bahwa politik dan administrasi telah bercampur aduk menjadi satu.

Birokrasi penting karena memiliki keahlian teknis dan informasi detail, memahami masalah di lapangan, sering menjadi sumber usulan kebijakan, dan dapat mempengaruhi implementasi kebijakan.

Selain itu, saat ini badan-badan administrasi sering terlibat dalam pengembangan kebijakan publik. Badan-badan administrasi dalam hal ini dapat membuat atau melanggar undang-undang atau kebijakan yang ditetapkan sebelumnya.

Di negara-negara maju, birokrasi bahkan menjadi aktor utama dalam inisiasi kebijakan karena keahlian dan pengalaman mereka.

Dalam masyarakat-masyarakat industri yang mempunyai tingkat kompleksitas yang tinggi, badan-badan administrasi sering membuat banyak keputusan yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi politik dan kebijakan yang luas.

2. Presiden (Eksekutif)

Sebagai kepala pemerintahan, presiden memiliki kewenangan besar dalam perumusan kebijakan. Keterlibatan presiden dalam perumusan kebijakan dapat dilihat dalam komisi-komisi presidensial, maupun dalam rapat-rapat kabinet.

Peran presiden meliputi menentukan arah dan prioritas kebijakan nasional, membentuk komisi atau tim khusus untuk merumuskan kebijakan, memimpin rapat kabinet untuk pembahasan kebijakan, mengesahkan atau memveto kebijakan, dan mengalokasikan anggaran untuk program kebijakan.

Gaya kepemimpinan presiden sangat mempengaruhi proses perumusan kebijakan. Dalam beberapa kasus, presiden terlibat secara personal dalam perumusan kebijakan.

Contohnya seperti Presiden Jimmy Carter yang dikenal menaruh perhatian besar dalam perumusan kebijakan dan lebih suka terlibat aktif dalam memberikan inisiatif pembuatan perundang-undangan, sementara presiden lainnya lebih mendelegasikan ke menteri-menterinya.

3. Lembaga Legislatif (DPR)

Lembaga legislatif memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang semuanya terkait dengan kebijakan publik. Lembaga ini bersama-sama dengan pihak eksekutif memegang peran yang cukup krusial di dalam perumusan kebijaksanaan.

Keterlibatan DPR meliputi membuat dan mengesahkan undang-undang, memberikan persetujuan anggaran negara, melakukan dengar pendapat dengan berbagai pihak, mengawasi implementasi kebijakan, dan menyerap aspirasi masyarakat.

Setiap undang-undang menyangkut persoalan-persoalan publik harus mendapatkan persetujuan dari lembaga legislatif. Tanpa persetujuan DPR, kebijakan yang memerlukan landasan hukum atau anggaran tidak akan bisa berjalan.

Keterlibatan lembaga legislatif dalam perumusan kebijakan juga dapat dilihat dari mekanisme dengar pendapat, penyelidikan-penyelidikan dan kontak-kontak yang mereka lakukan dengan pejabat-pejabat administrasi, kelompok-kelompok kepentingan dan lain sebagainya.

4. Lembaga Yudikatif

Lembaga peradilan juga punya peran penting, terutama melalui mekanisme judicial review. Lembaga ini memainkan peran yang besar dalam pembentukan kebijakan di Amerika Serikat. Di Indonesia, seiring proses reformasi yang tengah berjalan, peran lembaga yudikatif semakin meningkat.

Kekuasaan yudikatif meliputi menguji konstitusionalitas suatu kebijakan, menafsirkan undang-undang yang ambigu, membatalkan kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi, dan menyelesaikan sengketa terkait kebijakan.

Pada dasarnya, tinjauan yudisial merupakan kekuasaan pengadilan untuk menentukan apakah tindakan-tindakan yang diambil oleh cabang-cabang eksekutif maupun legislatif sesuai dengan konstitusi ataukah tidak.

Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi sudah beberapa kali membatalkan atau mengubah kebijakan melalui putusan-putusannya.

Pengadilan-pengadilan juga memainkan peranan yang besar dalam menentukan kebijakan ekonomi, dimana undang-undang yang berhubungan dengan masalah-masalah seperti hak milik, kontrak, korporasi, dan hubungan buruh-pengusaha telah dikembangkan oleh lembaga-lembaga pengadilan.

Aktor Tidak Resmi

Meski tidak punya kewenangan formal, aktor-aktor ini punya pengaruh signifikan dalam proses perumusan kebijakan. Pelaku tidak resmi berasal dari luar lembaga pemerintah, seperti kelompok kepentingan, partai politik, organisasi massa, warga negara, dan individu.

Pelaku ini tidak mempunyai peran dalam pengambilan keputusan kebijakan, tetapi berperan dalam memberikan saran, usul, masukan, bahkan intervensi kepada pelaku resmi pembuat kebijakan agar dapat meloloskan atau menggunakan bentuk kebijakan yang mereka inginkan.

1. Kelompok Kepentingan (Interest Groups)

Yakni kelompok-kelompok dengan kepentingan khusus sering melakukan lobby untuk mempengaruhi kebijakan.

Contoh kelompok kepentingan adalah asosiasi pengusaha contohnya KADIN dan APINDO, serikat pekerja, atau organisasi petani dan nelayan. Pengaruh mereka bergantung pada sumber daya, organisasi, dan akses ke pembuat keputusan.

2. Partai Politik

Kedua partai politik tidak hanya berperan saat pemilu, tapi juga dalam perumusan kebijakan sehari-hari. Peran partai politik meliputi menyalurkan aspirasi konstituen, memberikan dukungan atau oposisi terhadap kebijakan, dan mempengaruhi anggota partai yang duduk di lembaga pemerintahan.

3. Media Massa

Media punya kekuatan besar dalam membentuk opini publik dan agenda kebijakan. Pengaruh media seperti mengangkat isu menjadi perhatian publik, membentuk framing terhadap suatu masalah, hingga memberikan tekanan kepada pemerintah.

4. LSM dan Organisasi Masyarakat Sipil

LSM sering menjadi watchdog yang mengawasi pemerintah dan memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu. contoh kontribusi LSM yaitu advokasi untuk kelompok marginal, memberikan masukan teknis, melakukan penelitian dan kajian, serta mobilisasi dukungan publik.

5. Akademisi dan Think Tank

Para ahli dan lembaga penelitian memberikan perspektif ilmiah dalam perumusan kebijakan. Peran mereka seperti melakukan riset dan analisis kebijakan, memberikan rekomendasi berbasis bukti, mengevaluasi kebijakan yang ada, dan melatih serta mengembangkan kapasitas pembuat kebijakan.

6. Warga Negara Individual

Di era digital, individu juga bisa berpengaruh terutama melalui media sosial dan petisi online. Cara warga berpartisipasi adalah menyampaikan aspirasi melalui surat atau pengaduan, ikut serta dalam konsultasi publik, menggalang petisi online, dan ikut dalam demonstrasi atau aksi damai.

Yang menarik, di negara-negara berkembang seperti Indonesia, peran aktor tidak resmi semakin meningkat seiring dengan demokratisasi dan keterbukaan informasi.

Meskipun pada akhirnya kebijakan ditentukan oleh institusi yang berwenang, keputusan diambil setelah melalui proses informal negosiasi dengan berbagai pihak yang berkepentingan. Ini adalah tanda positif bahwa perumusan kebijakan semakin partisipatif.

Nilai-nilai Pembuatan Kebijakan Publik

Nilai-Nilai yang Mempengaruhi Pembuatan Keputusan

Dalam proses perumusan kebijakan, pembuat keputusan tidak bekerja dalam ruang hampa. Ada berbagai nilai yang mempengaruhi pilihan mereka.

Dalam menentukan pilihan dari berbagai teori pengambilan keputusan dengan beberapa alternatif pilihan yang tersedia, tentu masing-masing alternatif harus mempunyai nilai-nilai atau pedoman tertentu yang digunakan sebagai landasan dalam menentukan pilihan teori yang tepat.

Memahami nilai-nilai ini penting untuk menganalisis mengapa suatu kebijakan dibuat dengan cara tertentu. Berikut adalah beberapa dasar atau nilai-nilai yang berpengaruh dalam pembuatan keputusan:

1. Nilai Politik

Kebijakan tidak pernah bebas dari politik. Keputusan atau kebijakan negara tidak lepas dari partai politik karena pejabat-pejabat pengambil keputusan berasal dari partai politik.

Pembuat keputusan sering dipengaruhi oleh kepentingan partai politik atau kelompok pendukung mereka. Dalam mengambil keputusan, dipilih alternatif yang berkepentingan dengan partai politiknya ataupun kelompok-kelompok klien dari partai politik.

Manifestasi nilai politik dapat berupa kebijakan yang menguntungkan basis pemilih, kompromi politik untuk mempertahankan koalisi, timing kebijakan yang disesuaikan dengan siklus pemilu, dan isu yang diangkat untuk kepentingan elektoral.

Keputusan-keputusan yang lahir tidak mustahil dibuat untuk kepentingan partai politiknya dan digunakan sebagai instrumen untuk memperluas pengaruh politik untuk mencapai tujuan dari kelompok kepentingan yang bersangkutan.

Contoh nyata adalah program-program populis yang digalakkan menjelang pemilu untuk menarik simpati para calon pemilih.

2. Nilai Organisasi

Birokrasi sebagai organisasi memiliki kepentingan untuk mempertahankan dan memperkuat posisinya. Nilai-nilai organisasi yang dimiliki akan mempengaruhi pengambilan keputusan khususnya organisasi pemerintah.

Hal ini disebabkan karena struktur organisasi yang ada di birokrat memiliki sistem kontrol yang terorganisasi. Sistem kontrol di sini dapat berupa sanksi yang dapat memaksa organisasi dibawahnya untuk mengikuti perintah dari organisasi di atasnya.

Kepentingan organisasi meliputi mempertahankan eksistensi organisasi, mendapatkan alokasi anggaran lebih besar, memperluas kewenangan dan program, serta memelihara otonomi dan kekuasaan.

Hal ini dilakukan untuk mempertahankan kedudukan organisasi tetap eksis, untuk meningkatkan dan memperlancar program-program dalam kegiatan organisasi, dan untuk mempertahankan kekuasaan dan hak-hak istimewa yang mungkin ada dalam organisasi.

Hal-hal tersebut dapat menjelaskan mengapa kadang kala ada resistensi terhadap reformasi birokrasi atau penggabungan instansi.

3. Nilai Pribadi

Setiap pembuat keputusan merupakan manusia dengan kebutuhan dan ambisi personal. Setiap orang mempunyai kebutuhan seperti yang diungkapkan oleh Maslow dimana orang memiliki kebutuhan fisik sampai kebutuhan untuk mengaktualisasi diri.

Untuk memenuhi kebutuhan itu, seseorang selalu melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dan kepentingan pribadi ini mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan.

Faktor pribadi yang berpengaruh seperti kebutuhan ekonomi dan kesejahteraan, ambisi karir dan keinginan promosi, maupun prestise dan pengakuan sosial. Bentuk nilai pribadi ini bisa positif seperti motivasi untuk berprestasi, atau negatif seperti korupsi dan nepotisme.

4. Nilai Ideologis

Ideologi memberikan panduan nilai dan keyakinan yang mempengaruhi cara pandang terhadap masalah dan solusinya. Ideologi menjadi pedoman bertindak bagi masyarakat yang meyakininya dan pada hakikatnya merupakan serangkaian nilai-nilai dan keyakinan yang secara logis saling berkaitan.

Pengaruh ideologi dapat berupa orientasi kiri-kanan dalam ekonomi seperti intervensi versus pasar bebas, pandangan liberal-konservatif dalam sosial, nasionalisme versus globalisme, dan sekularisme versus religius.

Misalnya, pemerintah yang menganut ideologi sosialis cenderung akan membuat sebuah kebijakan yang lebih intervensionis dalam ekonomi.

5. Nilai Kebijakan Publik (Kepentingan Umum)

Idealnya, ini adalah nilai yang paling penting dimana kebijakan harus mengutamakan kesejahteraan masyarakat luas. Selain beberapa kepentingan diatas, ada faktor lain yang memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan yaitu kepentingan umum atau kepentingan masyarakat.

Prinsip kepentingan umum meliputi manfaat terbesar untuk jumlah orang terbanyak, keadilan distributif, keberlanjutan jangka panjang, dan perlindungan hak-hak dasar warga. Nilai ini sering berbenturan dengan nilai-nilai lain, dan disinilah uji moral bagi pembuat kebijakan.

6. Nilai Profesional dan Teknis

Para ahli dan teknokrat membawa nilai-nilai profesional mereka dalam proses perumusan kebijakan. Orientasi profesional meliputi standar dan best practices internasional, bukti ilmiah dan data empiris, efisiensi dan efektivitas teknis, serta inovasi dan peningkatan kualitas.

Nilai profesional ini penting untuk memastikan kebijakan berbasis pengetahuan yang solid. Berbagai macam nilai tersebut saling mempengaruhi pengambil kebijakan dalam mengambil keputusan.

Dalam realitasnya, keputusan kebijakan adalah hasil kompromi atau tarik-menarik antara berbagai nilai ini. Prioritas dari masing-masing nilai ini setiap orang akan berbeda-beda tergantung situasi pada saat pengambil kebijakan mengambil keputusan serta moral yang dimiliki.

Pembuat kebijakan yang baik adalah yang mampu menyeimbangkan berbagai nilai tersebut dengan mengutamakan kepentingan publik.

Konteks Perumusan Kebijakan: Faktor-Faktor yang Harus Dipertimbangkan

Seperti yang sudah di singgung sebelumnya sebuah kebijakan tidak dibuat dalam vakum. Ada banyak faktor kontekstual yang harus dipertimbangkan agar kebijakan bisa efektif dan diterima masyarakat.

Konteks perumusan kebijakan publik merujuk pada kondisi atau situasi yang menjadi latar belakang pembuatan suatu kebijakan publik.

Konteks ini mencakup berbagai faktor yang dapat mempengaruhi proses perumusan kebijakan, seperti kebijakan yang telah ada sebelumnya, situasi politik, kondisi ekonomi, perkembangan teknologi, dinamika sosial, dan berbagai faktor lainnya.

Pemahaman yang baik terhadap konteks perumusan kebijakan publik dapat membantu para pengambil keputusan untuk memahami kondisi yang sedang dihadapi dan menentukan arah kebijakan yang tepat.

Selain itu, mempertimbangkan konteks juga dapat membantu untuk meminimalkan risiko kegagalan kebijakan atau dampak yang tidak diinginkan dari kebijakan yang diambil.

1. Faktor Politik

Dukungan politik adalah kunci keberhasilan kebijakan. Dalam perumusan suatu kebijakan diperlukan dukungan dari berbagai faktor kebijakan, baik aktor-aktor dari kalangan pemerintah maupun dari kalangan bukan pemerintah. Tanpa dukungan yang memadai, kebijakan bagus sekalipun bisa gagal.

Yang perlu dipertimbangkan adalah dukungan dari lembaga legislatif, koalisi politik yang ada, opini publik dan popularitas pemerintah, posisi kelompok-kelompok kepentingan, serta momentum politik seperti pasca-pemilu atau situasi krisis.

Contohnya, reformasi perpajakan yang kontroversial lebih mudah dilakukan saat pemerintah memiliki dukungan mayoritas kuat di parlemen.

2. Faktor Ekonomi/Finansial

Uang adalah sumber daya terbatas dan kebijakan harus realistis dengan kondisi keuangan negara. Faktor ini perlu dipertimbangkan, terutama apabila kebijakan tersebut akan menggunakan dana yang cukup besar atau akan berpengaruh pada situasi ekonomi dalam negara atau daerah.

Pertimbangan ekonomi meliputi ketersediaan anggaran negara atau daerah, dampak kebijakan terhadap ekonomi makro, efisiensi penggunaan sumber daya, potensi pendapatan yang bisa dihasilkan, dan dampak terhadap iklim investasi.

Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah kepada Kabupaten dan Kota di Indonesia, semua daerah sudah berlomba-lomba untuk membuat atau memunculkan ide-ide baru dalam bentuk kebijakan tanpa memperhatikan keuangan daerah, sehingga banyak daerah dalam pelaksanaan anggaran mengalami defisit, dan jelas hal ini mempengaruhi terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan masyarakat.

3. Faktor Administratif/Organisatoris

Kebijakan terbaik bisa gagal jika tidak ada kapasitas organisasi untuk menjalankannya. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan publik adalah administrasi atau organisatoris, yaitu kemampuan administratif dan organisasi yang mendukungnya.

Kemampuan administratif termasuk kemampuan sumber daya aparatur yang melaksanakan kebijakan pemerintah harus sesuai dengan persyaratan dan kompetensi yang telah ditetapkan.

Kapasitas yang dibutuhkan meliputi SDM yang kompeten dan memadai jumlahnya, sistem manajemen dan koordinasi yang baik, infrastruktur dan teknologi pendukung, Standard Operating Procedure yang jelas, serta mekanisme monitoring dan evaluasi.

Sebagai contoh, aturan pemekaran daerah yang memberikan kesempatan bagi daerah untuk memperluas wilayah, membutuhkan sumber daya aparatur yang memadai agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik.

Organisasi pemerintah daerah yang dibentuk juga harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mempunyai tugas pokok dan fungsi yang jelas, sehingga tidak terjadi tumpang tindih atau overlaping antara satu organisasi dengan yang lainnya.

4. Faktor Teknologi

Di era digital, teknologi bisa memfasilitasi atau justru hambatan bagi kebijakan. Teknologi saat ini sebenarnya dapat mendukung penyelenggaraan kebijakan pemerintah, namun sering kali masalahnya terletak pada SDM yang menggunakan teknologi tersebut.

Dimensi teknologi meliputi ketersediaan infrastruktur teknologi, kesiapan SDM mengoperasikan teknologi, keamanan data dan sistem, aksesibilitas teknologi bagi masyarakat luas, dan kecepatan perkembangan teknologi.

Sebagai contoh, perangkat komputer atau laptop sering kali hanya digunakan untuk mengetik saja, padahal terdapat banyak program lain yang bisa digunakan untuk kegiatan-kegiatan lainnya, tergantung pada kesiapan SDM yang menggunakannya.

Program transformasi digital pemerintahan membutuhkan tidak hanya komputer dan internet, tapi juga SDM yang kompeten dalam menggunakannya. Tanpa persiapan yang matang, investasi teknologi bisa jadi sia-sia.

5. Faktor Sosial, Budaya, dan Agama

Indonesia adalah negara yang sangat beragam dan kebijakan harus sensitif terhadap keragaman ini. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus mempertimbangkan potensi terjadinya benturan sosial, budaya, dan agama atau yang biasa disebut dengan masalah SARA.

Isu-isu sensitif meliputi nilai-nilai agama yang dianut masyarakat, tradisi dan adat istiadat lokal, struktur sosial dan hierarki masyarakat, persepsi dan stigma sosial, serta toleransi dan pluralisme.

Maka dari itu sebelum membuat kebijakan pemerintah perlu melakukan pemetaan sosial-budaya sebelum membuat kebijakan agar tidak terjadi resistensi atau bahkan konflik.

6. Faktor Pertahanan dan Keamanan

Stabilitas keamanan adalah prasyarat bagi pembangunan dan kebijakan tidak boleh mengganggu keamanan nasional atau daerah. Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah harus memperhatikan stabilitas keamanan negara atau daerah.

Aspek keamanan meliputi potensi konflik antar daerah misalnya soal batas wilayah, keamanan infrastruktur strategis, ancaman terorisme atau separatisme, keamanan siber untuk kebijakan digital, dan stabilitas sosial serta ketertiban umum.

Misalnya, dalam pembangunan gerbang batas negara atau daerah, harus memperhatikan apakah pembangunan tersebut dapat menimbulkan konflik antar daerah dan masyarakat.

Untuk menghindari hal tersebut, diperlukan sosialisasi yang baik dengan berbagai pihak yang terkait, termasuk masyarakat yang terdampak oleh kebijakan tersebut.

Selain itu, koordinasi yang baik antara negara dengan negara atau antara daerah yang berbatasan juga sangat penting dalam menghindari konflik yang dapat mengganggu stabilitas keamanan.

7. Faktor Lingkungan

Kebijakan harus berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan untuk generasi mendatang. Pertimbangan lingkungan seperti dampak terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati dan bagaimana nantinya emisi maupun polusi yang dihasilkan.

Era modern menuntut setiap kebijakan, terutama yang terkait infrastruktur dan industri, untuk melakukan AMDAL atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

8. Faktor Hukum

Kebijakan harus memiliki landasan hukum yang kuat dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Aspek legal meliputi konstitusionalitas kebijakan, kesesuaian dengan UU dan peraturan di atasnya, mekanisme penegakan dan sanksi, perlindungan hak-hak warga negara, dan kepastian hukum dalam implementasi.

Suatu kebijakan yang tidak memiliki dasar hukum kuat bisa digugat dan dibatalkan oleh pengadilan.

9. Faktor Internasional

Di era globalisasi, kebijakan domestik sering dipengaruhi atau mempengaruhi hubungan internasional.

Dimensi internasional meliputi komitmen pada perjanjian internasional, standar dan norma global, tekanan dari negara lain atau organisasi internasional, dampak terhadap perdagangan dan investasi asing, serta reputasi negara di mata dunia.

Misalnya, kebijakan lingkungan Indonesia dipantau oleh komunitas internasional, terutama terkait deforestasi dan emisi karbon.

Memahami dan mempertimbangkan semua faktor kontekstual ini memang tidak mudah. Tapi inilah yang membedakan kebijakan yang well-designed dengan yang asal jadi.

Pembuat kebijakan yang baik harus mampu melakukan analisis konteks yang komprehensif sebelum memutuskan. Faktor-faktor ini dapat bervariasi tergantung pada kondisi dan konteks di mana kebijakan publik tersebut dibuat

Itulah akhir pembahasan kita pada artikel kali ini, dari eksplorasi yang telah kita lakukan kita tahu bahwa inti dari perumusan kebijakan publik adalah tentang membuat keputusan yang mempengaruhi kehidupan jutaan orang.

Dan hal Ini merupakan tanggung jawab besar yang membutuhkan tidak hanya keahlian teknis, tapi juga kebijaksanaan, empati, dan komitmen pada kebaikan bersama.

Sebagai warga negara, kita semua punya peran dalam proses ini baik sebagai pembuat kebijakan, pelaksana, penerima manfaat, atau pengawas. Pemahaman yang baik tentang bagaimana kebijakan dirumuskan akan membuat kita lebih mampu berkontribusi secara konstruktif

Posting Komentar